Sukses

Ini Peluang Besar di Balik Berlakunya MEA

Keberadaan MEA saat ini masih dianggap horor oleh sebagian besar masyarakat, padahal ada peluang besar didalamnya.

Liputan6.com, Jakarta Sejak diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015 lalu, negara anggota ASEAN mulai mengalami aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terdidik dari dan ke masing-masing negara. Sebagai anggota ASEAN, hal ini juga berlaku bagi Indonesia.

Namun, keberadaan MEA saat ini masih dianggap horor oleh sebagian besar masyarakat, termasuk para pelaku usaha. Sebab serbuan barang dan jasa dari negara-negara di ASEAN dianggap dapat menjadi bumerang bagi keberlangsungan usaha dan bisnis di Indonesia karena dianggap belum mampu bersaing. Padahal, gagasan MEA ini sudah lama disiapkan guna meningkatkan stabilitas perekonomian di ASEAN dan membuat kawasan ekonomi yang kuat.

Untuk memberikan gambaran tentang keberadaan MEA saat ini, Paramadina Graduate School (PGS) menggelar Open House yang mengundang para pakar dan pelaku bisnis dengan tema "Sukses Bersaing di Era MEA" bertempat di Energy Building 22nd Floor, SCBD, Sudirman, Jakarta, Senin (21/3).

Narasumber yang hadir antara lain Ceo Bukalapak.com, Ahmad Zaky dan Mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI, Dino Patti Djalal.

Sebagai pemain digital dan e-commerce, Zaky mengaku tidak khawatir dengan keberadaan MEA. Sebab Indonesia merupakan pasar terbesar di ASEAN.

"Kami yang bermain di dunia digital tidak ada pemikirian main sektoral, ini MEA, ini Indonesia. Sejak lahir otak kita sudah diset untuk bersaing dengan global. Mulai dari Facebook, Intagram, orang-orang pada jualan online," kata Zaky.

Menurut Zaky, MEA merupakan peluang sebab Indonesia pasar terbesar di ASEAN. "Siapapun yang menang di Indonesia, dengan faktor yang sama itu harusnya menang," ujar Zaky.

Lebih lanjut, Zacky mengatakan kalau wujud MEA sepenuhnya belum terbentuk karena perbedaan bangsa dan budaya.  "Uni Eropa yang kuat saja budaya bisnisnya masih satu negara yang kuat. ASEAN seharusnya bisa menembus batas-batas itu, tambah Zaky.

Zaky pun mengingatkan bahwa kunci utamanya adalah inovatif. "Kalau enggak inovatif bisa kelewat dengan yang baru masuk. Bahkan, ada ketakutan kalau tidak improve nanti bisa ditinggalkan karena pilihan banyak. Berita bagusnya kalau dicompare perusahaan Indonesia dengan yang lain pasti jagoin Indonesia," kata Zaky.

Terkait masuknya sejumlah Tenaga Kerja Asing, Zaky yang lulusan di IT ini menganggap hal tersebut menjadi cara cepat untuk transfer knowledge terutama bidang IT dan Software Engineering.

"Kedatangan mereka bagus untuk transfer teknologi. Sebab industri IT Indonesia saat ini masih tertinggal dibanding cina, jepang, sama malaysia saja mungkin IT kita agak ketinggalan," ujar Zacky.

Jika mengandalkan pemerintah maupun mengirim tenaga dosen untuk belajar, lanjut Zaky, akan butuh waktu lama, dan jumlahnya tidak begitu besar dibanding negara India dan Tiongkok yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu.

Senada dengan Zaky, Dino Patti Djalal yang lama berkecimpung dibidang diplomasi ini menganggap keberadaan tenaga kerja asing dapat menjadi challenge bagi tenaga lokal.

"Sekarang yang memiliki keleluasaan untuk masuk sekitar 8 profesi, diantaranya Akuntan, Nurse, dan Engineering. Kalaupun datang masih ada ruang, peluang dan dapat memberikan nilai tambah," kata Dino.

Salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan, menurut Dino, adalah sertifikasi di 8 profesi tersebut. “Justru ini pentingnya setifikasi. Ketika anda di 8 profesi tadi memiliki sertifikasi, anda juga bisa kerja di luar negeri. Meskipun sulit, tapi kalau anda dapat, anda pun bisa ke singapura dan malaysia. Jadi, menurut saya tidak perlu dikhawatirkan," kata Dino.

Sedikit menyinggung soal bisnis Online. Dino berharap e-commerce Indonesia menggunakan spirit intelegensi seperti Alibaba di Tiongkok yang mengalahkan kompetitor asing bukan dengan nasionalisme melainkan karena produknya yang unggul dan memenuhi keinginan orang lokal.

"Intinya tahu model dan apa yang dimau lokal," tegas Dino.

Lebih lanjut, Dino mengajak masyarakat untuk memperbaiki diri dan memiliki mimpi besar. "Orang Indonesia umumnya terlalu cepat puas, ambisinya medioker. Ini tantangan besar, supaya dari awal memiliki mimpi besar karena itulah yang membuat seseorang menjadi besar," lanjut Dino.

Program Open House dari Paramadina Graduate School dengan mengundang para pakar dan praktisi dibidangnya merupakan bagian dari komitmen Paramadina Graduate School of Business (PGSB) dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) untuk memperkuat wawasan mahasiswa dan menghadirkan jejaring bagi civitas akademika sesuai dengan motto PGS yaitu "Home for Exploration, Innovation, and Networking".

"Tokoh-tokoh inspiring ini kita undang supaya bisa memberikan influence untuk mahasiswa Paramadina, sebabnya Paramadina saat berada dalam perubahan, dalam hal ini MEA. Harapannya nanti dapat memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara," kata Handi R. Idris, Kepala Program Studi Magister Manajamen.

Open House kali ini dilaksanakan juga dalam rangka penerimaan mahasiswa baru PGSB dan PGSD. Dengan perkuliahan yang dimulai pada bulan September nanti. Program PGSB merupakan bagian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina yang disusun untuk menciptakan lulusan uang profesional, berwawasan global, dan memiliki kemampuan kreatif.

Sementara, program PGSD sendiri fokus untuk menjadi pusat studi politik ekonomi di Asia, terutama di Indonesia. Mata kuliah PGSD dirancang untuk merespon kebutuhan praktis para negosiator dan diplomat (dalam arti luas) tentang beragam kebijakan prioritas yang strategis. Materi perkuliahan di PGSD dan PGSB diperbarui secara berkala agar dapat merespon kebutuhan terkini dan mengantisipasi perkembangan di masa-masa mendatang.

Sejak awal berdiri, PGS terus konsisten untuk memberikan program beasiswa, termasuk para jurnalis, aktivis NGO, dan guru. Karena jurnalis dan aktivis merupakan "The Silent Teacher", melalui karya mereka turut andil dalam mendidik masyarakat. Program beasiswa di PGS didukung didukung oleh Medco Group.

 

 

(Adv)

Â