Sukses

Teroris Santoso Terkepung

Polri optimistis gembong teroris Santoso akan segera tertangkap. Santoso alias Abu Wardah saat ini diyakini dalam posisi terjepit.

Liputan6.com, Jakarta - "Ini tinggal menunggu waktu saja. Satu per satu anggota kelompok meta ditangkap dan tewas dalam penyergapan. Santoso makin tersudut."

Pernyataan tersebut meluncur dari Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Inspektur Jenderal Purnawirawan Ansyaad Mbai, saat memulai perbincangan dengan Liputan6.com, Jumat 25 Maret 2016.

Ansyaad optimistis upaya aparat gabungan TNI dan Polri memburu gembong teroris paling dicari, Santoso alias Abu Wardah, di Poso dalam waktu dekat akan berakhir. Operasi dengan sandi Operasi Tinombala itu menggantikan operasi sebelumnya, Camar Maleo.

Dia melihat keyakinan itu setelah beberapa anggota Santoso tertangkap. Ditambah lagi informasi yang didapat dari salah satu anggota kelompok Santoso yang tertangkap,MAQ alias S alias Brother. Dia ditangkap Senin 22 Maret 2016 sekira pukul 08.30 WITA di Desa Wuasa, Lore Utara, Poso, Sulawesi Tengah. Brother turun gunung karena kelaparan.

Tidak adanya suplai logistik membuat kelompok teroris Santoso kelaparan dan terjepit (Istimewa)

Dari mulut Brother terkuat bahwa di dalam tubuh kelompok teroris Santoso Cs terjadi perpecahan. "Mereka yang mundur dari jalan perjuangan maka akan dicap murtad. Sebagian dari mereka (anak buah Santoso) menilai arah perjuangan Santoso sudah melenceng," kata Ansyaad. Hal serupa juga disampaikan Kepala Satuan Tugas Operasi Tinombala, Komisaris Besar Leo Bona Lubis.

Keyakinan itu juga diukur dari personel-personel yang saat ini terlibat dalam Operasi Tinombala. Mulai dari Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala BNPT yang dijabat Komisaris Jenderal Tito Karnavian, serta Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Rudy Sufahriadi.

Baik Badrodin, Tito, maupun Rudy cukup mengenal medan Sulawesi Tengah. Mereka sudah sejak lama terjun di wilayah konflik Poso, yaitu sejak peristiwa Bom Tentena, Mei 2005 lalu.

Mantan Kepala Densus 88/Antiteror, Inspektur Jenderal purnawirawan Suryadharma Salim, mengatakan medan Poso yang berat menjadi salah satu kendala aparat dalam mengejar kelompok Santoso.

"Ini berbeda dengan Aceh, di sini lebih berat," kata Suryadharma kepada Liputan6.com, Jumat 25 Maret 2016.

Medan berat memaksa aparat untuk ekstra hati-hati karena bisa saja serangan datang  tidak terduga dari berbagai penjuru tebing dan hutan. Dia mencontohkan beratnya medan saat personel Polri membawa jenazah salah seorang rekan mereka yang gugur karena teserang malaria.

"Bayangkan, butuh waktu 3 hari untuk membawa jenazah turun gunung," ujar Suryadharma.

Dari Aceh ke Poso

Terbongkarnya pelatihan para militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh 2010, tidak meredupkan sel-sel kecil kelompok teror untuk menegakan cita-cita membentuk Negara Islam dan menyalurkan hasrat jihadis para kelompok teror.

Sedikit mengulas, dalam pengungkapan di Jantho, 59 teroris yang tengah berlatih para militer ditangkap. 13 orang tewas termasuk Dulmatin, salah seorang di balik Bom Bali 2002 yang pernah ikut dalam pemberontakan di Mindanaou, Filipina Selatan. Namun, tidak sedikit juga yang melarikan diri dalam penggerebekan tersebut.

Polri lalu mengembangkan kasus ini dan menangkap dan memejahijaukan Abu Bakar Baasyir, pimpinan Pondok Pesantren Ngruki, Jawa Timur. Baasyir dianggap sebagai dalang dan pendana pelatihan para militer di Aceh. Hakim memvonis Baasyir 15 tahun penjara. Saat ini, mantan Pimpinan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) masih mengupayakan nasibnya melalui upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).

TNI dan Densus Antiteror 88 menyisir wilayah di Poso

Sementara itu, gerakan Poso mengibarkan bendera mereka dengan sebutan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT). Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan, adalah Santoso, Abu Tholut, dan Ustadz Yasin berada di balik berdirinya gerakan tersebut pada 2010-2011.

"Abu Tholut datang ke Poso untuk berdakwah. Dia bertemu dengan Ustadz Yasin dan Santoso. Dalam pertemuan itu keduanya mengeluh bahwa situasi jihad di Poso sedang lesu. Maka muncullah kembali gagasan menghidupkan cita-cita mendirikan negara Islam di Poso," kata Ansyaad.

Segala kebutuhan organisasi dipersiapkan. Termasuk kebutuhan prajurit-prajurit siap tempur yang akan digembleng dalam pelatihan para militer.

Selain kebutuhan kader-kader asykariy, kelompok yang dibangun Santoso juga memerlukan senjata-senjata. 2010 Santoso berhasil membeli beberapa pucuk senjata. Senjata didapat, pelatihan militer pun digelar. Beberapa wilayah pegunungan di Poso menjadi markas sekaligus wilayah pertahanan kelompok ini. Seperti di Gunung Mauro di Tambrana, Poso Pesisir Selatan, serta Gunung Biru, Tamanjeka, di Kabupaten Morowali.

Perekrutan terus berjalan. Jumlah kader asykariy juga terus bertambah. Sekitar 50-an orang bergabung dengan kelompok yang dibentuk Santoso Cs ini. Dirasa jumlah yang akan dikader cukup, Santoso mulai mencari cara untuk menambah persenjataannya.

"Saat itu Santoso Cs hanya mempunyai beberapa pucuk senjata. Sementara dana pun tidak ada," kata Ansyaad.

Lalu, Santoso mengajak beberapa tangan kanannya saat itu, Aryanto Haluta dan Rafli, untuk mencari senjata dengan berbagai cara. "Termasuk merampas dari polisi," ujar dia.

Tidak hanya merampas, mereka juga diperkenankan untuk membunuh aparat sebagai aksi balas dendam karena memberangus jejaring teroris.

Rabu 25 Mei 2011, kelompok Santoso menembak mati 2 polisi dan melukai seorang personel lainnya yang sedang berjaga di BCA Palu. "2 pucuk senjata dibawa kabur mereka," terang Ansyaad.

Namun, pelarian keduanya tidak berlangsung lama. Polisi membekuk keduanya dalam hitungan jam. Pengembangan penyidikan, polisi mengejar dan menembak mati 2 kelompok Santoso, Fauzan dan Faruq.

Petugas kepolisian dari Densus 88 berjaga yang diduga markas teroris di Tangerang Selatan, Banten, Kamis (28/1/2016). Penggeledahan ini merupakan pengembangan dari penangkapan terduga teroris berinisial K dan M. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Dari pengakuan tangan kanan Santoso yang tertangkap itu diketahui adanya pelatihan militer di Poso yang dipimpin Santoso alias Abu Wardah. Orang-orang terdekat Santoso juga ikut dibekuk. Penyidikan dan penangkapan merembet ke luar Poso.

Sampai akhirnya buron pelarian pelatihan para militer Aceh, Imam Rosyidi dan Heru Kuncoro, ikut ditangkap.

Bermula dari sini polisi memasukan Santoso ke Daftar Pencarian Orang (DPO). Sementara pelatihan militer yang sudah disiapkan terpaksa dihentikan karena Santoso harus menyembunyikan dirinya dari kejaran aparat. Pencarian aparat dan perlawanan Santoso pun dimulai.

Terjepit, Pecah, dan Tanpa Logistik

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, operasi pengejaran kelompok teroris Mujahid Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah sudah memperoleh perkembangan yang signifikan. Ia menjamin, warga Poso tidak lagi mendapat intimidasi dari kelompok radikal pimpinan Santoso itu.

"‎Sekarang TNI-Polri sudah berhasil menggiring kelompok Santoso kepada satu titik di mana mereka relatif terkepung. Kita akan lihat ‎dalam beberapa minggu ke depan akan ada perkembangan signifikan," ucap Luhut ‎di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat 11 Maret 2016. ‎

Sementara itu, Kepala BNPT Tito Karnavian meyakini penangkapan kelompok teroris Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, hanya tinggal menunggu waktu.

Menurut dia, aparat kepolisian dan TNI yang tengah menggelar operasi Tinombala sudah menguasai medan dan cukup mampu mengejar Santoso cs.

"Hanya masalah waktu saja. Untuk operasi saya yakin teman di sana (Polri dan TNI) sudah cukup mampu dan mereka sudah mempunyai peta yang cukup," kata Tito di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin 21 Maret 2016.

Tidak adanya suplai logistik membuat kelompok teroris Santoso kelaparan dan terjepit (Istimewa)

Terlebih, sudah ada Kapolda Brigadir Jenderal Rudy Sufahriadi dan Panglima Daerah Militer Mayor Jenderal Agus Surya Bakti yang berpengalaman di BNPT.

Dari laporan yang ia dapat dari lapangan, lanjut Tito, kelompok Santoso hanya berjumlah 20-an orang saja. Namun yang menjadi masalah adalah lokasi di mana Santoso kini berada.

"Saya pikir kelompok ini kelompok kecil, hanya kurang lebih 20-23 orang saja, masalahnya adalah hutan dan gunung-gunung," ujar Tito.

Adapun Kepala Satgas Operasi Tinombala Komisaris Besat Leo Bona Lubis menyebut posisi Santoso Cs, kata Leo, saat ini berada di pegunungan Napu, di pegunungan di barat daya Poso.

Guna memenuhi kebutuhan makan-minum, Santoso Cs bergantung pada ladang masyarakat. Termasuk memakan hewan endemik Sulawesi, Anoa. Hal ini disebabkan strategi aparat yang menangkapi satu per satu kurir logistik Santoso. Sehingga persediaan untuk bertahan hidup kelompok ini kian tipis.

"Santoso saat ini sudah keluar dari wilayah bertahannya, tinggal tunggu waktu saja," kata Leo.

Selain karena kondisi tertekan dan kelaparan, banyak anggota Santoso yang memilih memisahkan diri karena merasa ajarannya sudah tidak sesuai. ‎Bahkan di kalangan kelompok mereka sudah mulai pecah karena berbeda paham terkait ajaran Santoso.

"Jadi mereka ini sudah tidak kuat lagi, namanya manusia punya keterbatasan. Mungkin dia sudah tak kuat dengan ajaran-ajaran Santoso. Sudah tidak lagi sesuai dengan apa yang mereka perjuangkan. Karena itu dia memisahkan diri,"‎ jelas Leo.