Liputan6.com, Jakarta - Setahun lalu, tepatnya Kamis 26 Maret 2016, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Roni menemukan sesosok tubuh mengambang di Danau Kenanga, UI, Depok, Jawa Barat. Tewas.
Jasad tersebut ditemukan membengkak, tanpa identitas, dan menggendong ransel berisi 5 buah batu konblok.
Hanya jaket berlogo UI yang mengindikasikan jasad tersebut seorang mahasiswa. Sesuai prosedur kepolisian, aparat Polsek Beji dan Polres Kota Depok mengevakuasi mayat tanpa nama tersebut ke RS Polri Kramatjati guna pemeriksaan lanjutan, outopsi.
Senin 30 Maret 2015, jasad misterius itu terindentifikasi. Sepasang suami-istri asal Yogyakarta mendatangi Mapolresta Depok dan RS Polri Kramatjati, mereka yakin jasad tersebut adalah Akseyna Ahad Dori, putra mereka, seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Jurusan Biologi, UI.
Pemuda yang akrab disapa Ace tersebut diketahui menghilang berhari-hari. Ia adalah anak seorang Perwira Menengah TNI Angkatan Udara (AU) Kolonel (Sus) Mardoto.
Dugaan Bunuh Diri
Dua hari setelah teridentifikasi, Rabu 1 April 2015, Polresta Depok yang dipimpin Komisaris Besar Ahmad Subarkah mengumumkan hasil outopsi Ace.
"Dari hasil outopsi, dipastikan korban tewas di air dalam keadaan hidup karena tubuh korban sudah dipenuhi air. Jika korban tewas di atas kemungkinan air tidak terlalu banyak juga, dan luka lebam sendiri bukanlah luka lebam akibat penganiayaan," ungkap Subarkah di Depok, Rabu 1 April 2015.
Baca Juga
Subarkah menambahkan berdasarkan keterangan ibunda, Ace pernah berkeluh kesah lantaran gagal mengikuti kejuaraan sains tingkat nasional.
Dugaan bunuh diri diperkuat dengan penemuan sepucuk kertas di kamar kos Ace dengan tulisan tangan yang berbunyi 'Will not return for, please don't search for existence. My apologize for everything eternally (Tidak akan kembali, tolong jangan cari keberadaan saya. Saya minta maaf untuk semua selamanya)'.
Namun keterangan tersebut dibantah ayahanda Ace. Martodo yakin anaknya dibunuh.
Polisi: Akseyna Dibunuh
Akhir Mei 2015, Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Krishna Murti mendalami kasus tersebut. Sebagai pejabat baru di Polda Metro Jaya, Krishna mengungkap temuan baruberdasarkan hasil gelar perkara Ace. Hasilnya, Ace tewas bukan karena bunuh diri, tapi dibunuh.
"Dari hasil gelar ulang, kami menduga mati tidak wajar tersebut bukan karena bunuh diri, karena ada luka fisik di wajah yang bersangkutan. Kalau dia bunuh diri harusnya (wajahnya) mulus, tidak ada luka fisik," kata Krisna saat itu.
Hal lainnya yang menguatkan kasus ini mengarah ke pembunuhan, jelas Krishna, jika Ace tenggelam dalam keadaan sadar tentu ia dapat berontak dan melepaskan tas berisi 5 konblok yang memberatkan tubuhnya. Sebaliknya, jika ia tenggelam dalam keadaan tak sadar, batu itu menenggelamkannya.
Kemudian, Krishna menerangkan hasil pemeriksaan grafolog Deborah Dewi atas tulisan di surat Ace menunjukkan tulisan tersebut tidak 100 persen otentik goresan tangan Ace.
Bejibaku Mencari Bukti
Danau Kenanga yang menjadi saksi bisu pembunuhan Ace, didatangi polisi, Minggu 4 Oktober 2015.
Polda Metro Jaya, TNI AL, dan Gegana Brimob Mabes Polri, menggunakan alat sonar bejibaku menyelam ke dasar sungai untuk mencari logam yang diduga berada di dasar sungai.
Sayangnya hingga Senin dini hari hasil penyisiran tim nihil. Logam yang diprediksi menjadi titik terang pengungkap identitas pembunuh Ace tak diketahui rimbanya.
Krishna Murti yang memimpin penyelaman tersebut berniat menyisir kembali danau dengan alat sonar yang lebih mutakhir lagi, yang pernah dipakai saat pencarian bangkai Air Asia QZ 8501 yang jatuh di perairan Pangkalan Bun.
"Hingga jam 3 pagi belum tergambar jelas dari sonar. Anggota juga ada yang menyelam, tapi kondisi di danau saat itu gelap dan butek," tutur Krishna di Mapolda Metro Jaya, Senin 5 November 2015.
Advertisement
Kasus Rumit
Di penghujung tahun, kasus pembunuhan Akseyna masih berupa misteri tak terungkap. Krishna Murti mengaku, kasus pembunuhan yang cukup pelik diungkap sepanjang tahun 2015 adalah kasus Akseyna. Ada beberapa alasan yang diungkapkan Krishna terkait sulitnya mengungkap siapa pelaku, motif, dan modus pembunuhan itu.
Pertama, soal keterlambatan Polsek Beji dalam memasang garis polisi di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Termasuk, soal kesimpulan awal yang menyebutkan bahwa korban meninggal karena bunuh diri.
"Saya akui pembunuhan Akseyna sebagai yang paling sulit untuk diungkap. Lokasi sekitar Danau Kenanga, tempat ditemukannya jenazah Akseyna sudah rusak karena dikerumuni warga. Karena awalnya disimpulkan bunuh diri, maka TKP tidak diperlakukan dengan baik. Ini jelas menyusahkan untuk penyelidikan lebih lanjut," kata Krishna, Rabu 30 Desember 2015.
Kedua, lanjut Krishna, jasad Akseyna yang langsung dievakuasi jelas membuat banyak hal-hal kecil yang sebenarnya bisa membantu penyelidikan jadi hilang. Contohnya, kata Krishna, seperti pembunuhan Ibu dan Anak di Cakung, jenazah kami biarkan sampai 8 jam agar anggota bisa mengeksplorasi TKP.
"Ini jelas mempersulit proses penyelidikan. Padahal jika jasad dibiarkan tetap di TKP, polisi bisa mengeksplorasi temuan-temuan di lapangan dengan maksimal," papar dia.
Ketiga, Krishna mengaku tidak 100 persen menguasai kasus ini karena saat peristiwa terjadi, ia belum menjabat sebagai Direskrimum. Karena, meninggalnya Akseyna terjadi 2 bulan sebelum Krishna dimutasi dari Mabes Polri ke Polda Metro Jaya.
"Saya saat itu baru 2 bulan menjabat sehingga tak tahu persis seperti apa kasus itu di awal," ujar Krishna.
Negara Harus Bertanggungjawab
Ayahanda Akseyna Kolonel (Sus) Mardoto, menegaskan sampai kapan pun akan menagih pengungkapan kasus Ace kepada pihak kepolisian. Menurutnya, kepolisian sebagai representasi negara dalam hal memberi keamanan, bertanggung jawab atas kematian Ace yang masih diselimuti awan misteri. Ini tidak akan membiarkan polisi menghentikan penyidikan meski polisi mengku sangat kesulitan menjerat pembunuh Akseyna.
"Saya menuntut negara bertanggungjawab atas kasus (tewasnya) anak saya. Negara bertugas memberikan keamanan, dalam hal ini kepolisian. Sampai kapan pun kasus anak saya harus tetap diselidiki. Tidak boleh ditutup," kata ayahanda Mardoto, Jakarta, Kamis 11 Februari 2016.
Mardoto memaklumi proses penyidikan tak bisa diberi tenggang waktu karena upaya mengumpulkan bukti tidak mudah. Ia mengaku polisi masih terus mengkoordinasikan langkah-langkah penyidikan kepadanya, misalnya memberitahukan identitas saksi dan jadwal pemeriksaan.