Liputan6.com, Ambon - Kebijakan moratorium dan transhipment yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menuai kecaman dan protes dari para pengusaha perikanan skala besar, apalagi pengusaha perikanan asing.
Sebab, Permen KP Nomor 57 Tahun 2014 itu mewajibkan setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan pangkalan dalam negeri, sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Perusahaan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Baca Juga
Bagi nelayan kecil, kebijakan itu menguntungkan karena tak ada lagi pemain besar. Seperti warga pesisir Ambon di Kampung Baru, Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon.
Advertisement
Mereka yang sebelumnya terkepung industri perikanan, sejak awal 2015 mulai bebas. Dari puluhan warga yang ditemui, mereka merupakan mantan pegawai perusahaan perikanan yang terkena kebijakan Menteri Susi.Â
Baca Juga
"Katong (kami) sekarang sudah punya katinting (sampan penangkap ikan) sendiri, tak kerja lagi sama pabrik itu sejak tahun lalu," ujar Ali Khaimudin(36), warga Kampung Baru, Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon kepada Liputan6.com di Ambon, Minggu (3/4/2016).
Ali, sebelumnya bekerja di PT Arabikatama Khatulistiwa Fishing Industry. Ia merupakan buruh pembersih ikan dengan pekerjaan sehari-hari mengupas kulit dan mencabut kepala ikan yang dibawa kapal-kapal besar pengangkut ke pabrik yang dijaga tentara.
"Masuk pagi jam 8, pulang jam 5 sore, katong dapat uang Rp 1 juta sebulan," lanjut Ali yang merasa bebas dari jerat perusahaan.
Ia mengaku, selama bekerja jadi buruh hanya mampu membayar hutang setiap bulannya. Jika tiba masa gajian, Ali baru akan membayar dan melunasi segala hutangnya.
"Sekarang tidak lagi, katong sudah jadi bos," kelakar Ali menceritakan pekerjaan barunya sebagai nelayan tradisional.
Berkat kebijakan Menteri Susi tersebut, Ali kini berpenghasilan Rp 3 juta per bulan dan mampu menyekolahkan kedua anaknya tanpa harus terbelit hutang.