Sukses

Kisah Pilu Warga Pesisir Ambon Kala Kapal Asing Bebas Keruk Ikan

Para pemilik modal yang rata-rata berasal dari luar negeri itu menggunakan tentara agar warga tak mengganggu mereka.

Liputan6.com, Ambon - Nelayan di pesisir Pulau Ambon mulai menguak cerita pilu mereka sejak pabrik pengolahan ikan berdiri. Kala kapal-kapal besar mengeruk ikan di lautan milik mereka. Para pemilik modal yang rata-rata berasal dari luar negeri itu menggunakan tentara guna melindungi aset mereka.

"Anak katong (kami) yang kecil saja mendekat ditodong senjata, apalagi katong yang sudah ubanan ini, bisa khreeek...!," ujar seorang warga pesisir, Palawali, sembari memeragakan jari tangan yang seolah-olah menjadi pisau ke lehernya, saat berbincang dengan Liputan6.com, Ambon, Minggu (3/4/2016).

Saat pabrik milik PT Arabikatama Khatulistiwa Fishing Industry berdiri di dekat kampungnya, ia tak dapat apa-apa saat melaut. Dengan jarak hingga 4 mil, kail dan jaring kecil Palawali tak menjaring seekor ikan pun. Ia lebih sering membawa pulang loyang kosong. 

Palawali, sekarang sudah punya sampan sendiri, kapal kecil itu sebagai penyambung nyawa anak dan istrinya. Baru setahun ini keuangan keluarga Palawali membaik, sebelumnya mereka harus mengemasi bangkai ikan pembuangan pabrik untuk makan.

Warga Kampung Baru, Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon ini terkepung di dua pabrik yang berada di ujung kampungnya.

Sejak muda, Palawali sudah menekuni profesinya sebagai nelayan. Namun sayang pada 1980, kapal-kapal besar mulai masuk wilayah Ambon. Sejak awal 2000, Palawali mengaku kesusahan mendapatkan ikan. Meski sudah pergi sejak dini hari, hingga pulang sore tetap saja sampan kecilnya tak terisi ikan

"Sudah jauh pun tak ada ikan, pulang-pulang dipunggungi istri," kelakar dia menertawakan masa-masa sulitnya sebagai nelayan.

2 dari 2 halaman

Loyang Penuh Ikan

Namun sejak awal 2015 ia mulai mendapatkan ikan dengan mudah. Masyarakat di pesisir Ambon tak memakai istilah kiloan dalam menimbang hasil tangkapan mereka. Para nelayan memakai istilah loyang yang berupa baskom-baskom menengah.

"Sekarang, dekat saja sudah dapat ikan, rata-rata 3 loyang, katong juga bisa pulang cepat, dan mama senyum," ujar dia menggoda si istri yang ikut juga menceritakan bagaimana sulitnya mendapat ikan saat kebijakan moratorium belum ada.

Ayah 9 anak ini sekarang sudah punya sampan kecil yang dikenal dengan istilah 'Katinting'. Saat Liputan6.com mendatangi rumahnya, terlihat satu genset baru tergeletak di dalam rumahnya.

"Ini baru dibeli bapak, buat menerangi kapal, kalau dulu pakai lampu yang pompa itu (petromak)," ujar sang istri, Tati (47).

Palawali, merasa aman untuk saat ini. Karena tak ada lagi ada ancaman dari tentara dan tak harus bersaing dengan kapal besar milik asing.

"Kalau dulu katong tak berani tegur istri, sekarang pulang cepat. Ikan dapat, loyang penuh," ucap dia senang.

"Katong dapat ikan mudah sekali, jauh dapat, dekat dapat. Dua gudang ikan (pabrik) dan kapal besar itu berhenti, katong dapat ikan bebas," imbuh Palawali.

Ia dan puluhan nelayan lain di Kampung Baru, Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon merasa kebijakan Menteri Susi telah melindungi mereka dari keserakahan koorporasi perikanan.

"Kalau kapal besar itu ambil semuanya yang kecil juga ikut dijaring, katong harus jauh cari ikan," ucap seorang nelayan yang turut nimbrung.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelumnya mengeluarkan kebijakan transhipment dan moratorium serta pelarangan penangkapan pada beberapa biota laut. Kebijakan ini menuai protes dari pengusaha industri perikanan di Ambon, ribuan orang di PHK lantaran korporasi rugi miliaran rupiah. Ratusan kapal besar pun hanya tertambat dermaga perusahaan di Ambon.