Sukses

Geledah Ruang Kerja M Sanusi, KPK Temukan Rp 850 Juta

Uang Rp 850‎ juta uang ditemukan itu dalam pecahan Rp 100 ribu sebanyak 85 lembar.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah sejumlah ruangan kerja milik anggota DPRD DKI Jakarta akhir pekan lalu. Salah satunya, ruang kerja Ketua Komisi D DPRD DKI Mohammad Sanusi yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam penggeledahan di ruang kerja Sanusi itu, KPK menemukan uang ratusan juta rupiah. Total ada Rp 850 juta yang ditemukan tim penyidik KPK. Uang tersebut bukan dikembalikan seperti yang sempat beredar.

"Dalam penggeledahan ruang kerja (Sanusi), sama penyidik temukan Rp 850 juta," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/4/2016).


Uang Rp 850‎ juta uang ditemukan itu dalam pecahan Rp 100 ribu sebanyak 85 bundel. Namun Priharsa belum mau membeberkan apakah uang itu terkait dengan dugaan suap yang menjerat Sanusi atau tidak.

"Sementara ini masih didalami uang tersebut. Baru disita akhir pekan lalu," kata Priharsa.

KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.‎ Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi, Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro, dan Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja.

Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar‎ dari PT APL terkait dengan pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Kedua raperda itu sudah 3 kali ditunda pembahasannya di tingkat rapat paripurna.

Disinyalir pembahasan itu mandek salah satunya lantaran para perusahaan pengembang enggan membayar kewajiban 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas setiap pembuatan pulau kepada pemerintah. Kewajiban itu yang menjadi salah satu poin dalam draf Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.

Para perusahaan sendiri ngotot menginginkan hanya 5 persen dari NJOP yang dibayarkan ke pemerintah. Ditengarai terjadi tarik-menarik yang alot antara perusahaan dan pembuat undang-undang mengenai hal itu sebelum raperda itu disahkan menjadi perda.

Adapun selaku penerima, Sanusi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

‎Sedangkan Ariesman dan Trinanda selaku pemberi dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP‎.