Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, resmi mengundurkan diri dari anggota DPRD DKI Jakarta. Surat pengunduran diri Sanusi disampaikan melalui kuasa hukumnya kepada Sekretaris DPRD DKI Jakarta Muhammad Yuliadi.
"Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan surat pengunduran diri klien kami, Bang Sanusi, sebagai anggota DPRD periode 2014-2019," kata kuasa hukum Sanusi, Krisna Murti, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Selain surat pengunduran diri, Krisna juga menyerahkan aset negara yang dipakai oleh mantan politikus Gerindra itu, yaitu satu mobil dinas Toyota Altis.
Baca Juga
Dalam surat resmi pengunduran dirinya, disebut alasan Sanusi mengundurkan diri karena ingin fokus pada proses hukum yang sedang dijalani. Dengan begitu dipastikan Sanusi tidak lagi menerima gaji dan segala fasilitas sebagai anggota dewan.
Selain membahas pengunduran diri kliennya, Krisna Mukti sempat menyatakan bahwa uang yang diterima Sanusi sebesar Rp 1,1 miliar dari PT APL bukanlah uang suap, melainkan hadiah sebagai teman baik. Krisna mengatakan, Sanusi dan Dirut APL, Ariesman Wijaya adalah teman dekat sejak tahun 2015.
"Uang yang diterima Bang Sanusi ini bukan uang suap, yang tidak dalam pada kapasitas kewenangannya dalam menerima uang tersebut (bukan Balegda). Artinya, uang yang diterima Bang Uci ini, dengan Ariesman berteman sejak 2005, sama-sama pengembang, istilahnya ini uang pertemanan," ucap Krisna.
Dugaan Suap
KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.‎
Advertisement
Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi, Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro, dan Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja.
Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar‎ dari PT APL terkait dengan pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Kedua raperda itu sudah 3 kali ditunda pembahasannya di tingkat rapat paripurna.
Disinyalir pembahasan itu mandek salah satunya lantaran para perusahaan pengembang enggan membayar kewajiban 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas setiap pembuatan pulau kepada pemerintah.
Kewajiban itu yang menjadi salah satu poin dalam draf Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.