Liputan6.com, Jakarta - Kasus reklamasi Teluk Jakarta belakangan menghangat. Salah satu Ketua Komisi di DPRD DKI Jakarta dicokok aparat KPK karena dugaan suap. KPK juga menangkap terduga penyuap dan mencekal beberapa orang terkait peristiwa ini.
Kasus ini menjadi ruwet karena melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Ribuan hektare daratan baru terbentuk dengan rencana raksasa.
Di balik itu, terkuak skandal dugaan suap yang dilakukan pengembang atas perizinan dan peraturan daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis kawasan pantai Jakarta Utara terkait reklamasi 17 Pulau.
Advertisement
1 April 2016, Mohamad Sanusi Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta resmi jadi tahanan KPK setelah terjerat operasi tangkap tangan dengan barang bukti Rp 1 miliar lebih.
Tak hanya Sanusi, Trinanda Prihantoro, personal assistant PT Agung Podomoro Land (APL) yang diduga menjadi perantara penyuapan juga jadi tahanan KPK.
Terakhir, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Wijaya menyerahkan diri ke KPK.
Pihak KPK juga memanggil dan memeriksa Kepala Badan Pengeola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati sebagai saksi untuk kronologis terbitnya Raperda reklamasi Teluk Jakarta.
Baca Juga
Dari perkembangan kasus ini, sejumlah nama direksi, karyawan PT APL dan staf khusus gubernur DKI Jakarta dicekal KPK karena dianggap memiliki informasi penting terkait peristiwa ini.
Sejak 1995 rencana reklamasi Teluk Jakarta telah dimulai. Kala itu mantan Presiden Soeharto telah mengeluarkan Kepres No 52 Tahun 1995 terkait proyek tersebut.
Pada 2003 Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan SK mengenai ketidaklayakan rencana kegiatan reklamasi, namun SK ini digugat dan dimenangkan oleh pihak pengembang .
Tahun 2008 muncul Peraturan Presiden No 54 tahun 2008 yang mencabut Kepres No 52 tahun 1995.
Pembangunan Teluk Jakarta pada 2015 mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin reklamasi di 4 pulau, pulau G, F, I dan K.
Teluk Jakarta adalah lahan penghidupan bagi masyarakat nelayan tradisional Muara Angke, Jakarta Utara. Dampak reklamasi mulai membayang-bayangi mereka.
Reklamasi Teluk Jakarta juga menyimpan dampak yang merugikan lingkungan khususnya wilayah utara Jakarta.
Reklamasi terus bergerak. Perumahan, apartemen, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran mewah dan lokasi wisata akan menjadi target utama pengembang.
Perputaran uang yang sangat tinggi diperkirakan akan terjadi. Dengan harga jual per unit sampai menyentuh miliaran rupiah, angka raksasa total penjualan akan diperoleh pengembang.
Bagi calon pembeli atau konsumen, mereka akan menikmati kemegahan dari pulau reklamasi Teluk Jakarta.
Bagi masyarakat nelayan tradisional Muara Angke, kemegahan proyek reklamasi hanyalah indah dipandang, namun tak mungkin dinikmati.
Keputusan berlangsung terus atau tidaknya reklamasi sangat bergantung pada penentu kebijakan negeri ini. Tentu harus dilihat secara bijaksana, manfaat ataupun kerugian yang mungkin timbul jika proyek ini tetap dilaksanakan.
Saksikan selengkapnya dalam tayangan Sigi Investigasi SCTV edisi Minggu (10/4/2016), di bawah ini.