Sukses

Journal: Santoso, dari Poso Jadi Ekstremis Radikal

Santoso menjadi teroris paling diburu di Indonesia. Pria kelahiran 1967 itu saat ini memimpin organisasi teror yang berbaiat kepada ISIS.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah tembakan menyergap keramaian di depan Bank Central Asia (BCA) Palu, sekitar pukul 11.00 WIT. Sejurus kemudian, suara senapan jenis M-16 itu meletus kembali sebanyak tiga kali. Peluru kaliber 5,56 milimeter pun melesat ke dada dan perut Januar Yudistira Pranara dan Andi Irbar Prawiro. Kedua korban merupakan polisi yang sedang bertugas di sekitar kantor bank itu pada Rabu, 25 Mei 2011.

Insiden penembakan ini menjadi salah satu cerita teror yang menggegerkan di tanah Sulawesi. Aksi itu dilakukan tiga orang dan sempat membuat polisi waswas. Palu yang sedang aman berubah mencekam setelah ketiga peneror beraksi. Tapi tak butuh waktu lama, polisi berhasil mencokok salah satu tersangka bernama Aryanto Haluta.

Lelaki yang punya nama alias Abu Jafar alias Anto alias Jafar ini belakangan diketahui anggota Laskar Asykari Jamaah Anshorut Tauhid Cabang Poso, yang dipimpin Santo.

Insiden penembakan ini pun menjadi monumen perang pertama yang ditabuh Santoso alias Abu Wardah kepada polisi. Kini Santoso menjadi teroris paling diburu di Indonesia. Lelaki berjenggot kelahiran 1967 itu saat ini menjadi pemimpin Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) yang berbaiat kepada pemimpin Islamic State of Iraq and Levant (ISIS), Abu Bakar Al-Baghdadi.

Santoso bersama Basri di hutan Pegunungan Napu, Poso, Sulawesi Tengah. (Polda Sulselbar)

Menilik catatan ke belakang, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Tito Karnavian sedikit tak percaya Santoso menjadi lelaki yang menakutkan dan paling dicari saat ini. Tito yang pernah bertugas sebagai Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror, sempat memeriksa Santoso pada 2005.

Kala itu Santoso sempat tertangkap dalam kasus perampokan mobil box pada 2004. “Dari karakter sendiri, sebetulnya dari pemeriksaan kami pada 2005, saat dia ditangkap, dia sebetulnya bukan ideolog, bukan ahli strategi yang baik,” kata Tito kepada Liputan6.com, di kawasan Pengunungan Napu, Poso, Sulawesi Tengah, Senin (4/4/2016).

Tito bukan tanpa alasan berkata demikian. Dia adalah orang yang bertugas dalam operasi pemberantasan terorisme di Poso pada periode 2004 hingga 2007. Tito bahkan menuliskan hasil operasi tersebut menjadi sebuah buku berjudul Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso.

Irjen Tito Karnavian tersenyum pada awak media sebelum dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/3). Tito Karnavian dilantik menjadi Kepala BNPT dari jabatan sebelumnya Kapolda Metro Jaya. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sepak terjang Santoso di awal 2000 memang tak begitu mencengangkan. Lelaki yang lahir dari keluarga transmigran ini tercatat sekali berbuat onar pada 2004. Ia melakukan perampokan mobil box untuk fa’i (mengambil harta untuk kepentingan perang). Perampokan itu tak serta membuat namanya dikenal polisi. Santoso yang lahir dari keluarga miskin ini juga tak begitu menonjol di kalangan kelompok bersenjata Konflik Poso.

Andi Baso Thahir alias Ateng, salah satu teman semasa tergabung dalam kelompok bersenjata di Konflik Poso tahun 2000, menjelaskan Santoso bukanlah orang yang menonjol dalam kelompok. Pria yang tak tamat Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah itu dikenal Ateng hanya punya satu keahlian, yakni membaca peta.

Kemampuan tersebut, kata Ateng, didukung hobi Santoso naik gunung. Sebab, Santoso punya latar belakang keluarga petani yang terbiasa mendatangi lahan di daerah perbukitan. “(Jadi) Dia punya keahlian itu,” kata Ateng saat ditemui Liputan6.com, di Dusun Tokorondo, Poso.

Video amatir yang diduga kuat memuat kelompok teroris Santoso beredar di Poso. Sementara itu, Mukhlis menjadi pemulung demi biaya pendidikan

Ateng menerangkan Santoso adalah lelaki yang sangat santun. Sikap kerasnya hanya ditujukan terhadap lawan gerilya semasa konflik, yakni kelompok Nasrani. Ateng ingat sikap santun Santoso ini bahkan tak hilang saat keluar dari penjara. Ia bahkan kerap bertemu dan bertegur sapa. Dalam kurun 2004 hingga 2006, kata Ateng, ia beberapa kali bertemu saat Santoso saat sedang berjualan buku, pupuk, dan golok dengan sepeda motor. Santoso dikenal gigih dan tekun mencari nafkah untuk keluarganya.

Kurun 2007 hingga 2011, Ateng sempat tak bertemu dengan Santoso. Sejumlah teman eks kelompok bersenjata di Konflik Poso pun sempat mencari tahu ke mana Santoso pergi. Maklum, kata Ateng, mereka terbiasa salat Asar berjemaah di wilayah Tokorondo, yang merupakan bekas basis militan muslim selama konflik. Tiba-tiba nama Santoso terpampang dalam daftar pencarian orang yang dirilis polisi. Ateng kaget sebab kawan lamanya itu terlibat dalam penembakan polisi di depan Bank BCA Palu, 24 Mei 2011. “Begitu muncul lagi, namanya muncul di kasus BCA,” ucap Ateng.

Infografis jejak kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT)

Lelaki yang diingatnya bertutur kata lemah lembut itu, kata Ateng, berubah drastis menjadi sosok ekstrem dan menakutkan. Ateng tak habis pikir apa yang mendorong Santoso berbuat nekat menembak polisi saat situasi aman terkendali.

Ateng menceritakan, Santoso hari ini jelas berbeda dengan Santoso awal 2000-an. Bahkan saat keluar penjara, kata Ateng, sikap Santoso tak berubah, santun luar biasa. Perubahan sikap inilah yang jadi pertanyaan Ateng.

“Berkaitan dengan yang dilakukannya sekarang, kami tidak tahu cara berpikirnya. Apa sih sebenarnya yang mendorong dia bisa melakukan itu?” tutur Ateng. 

2 dari 2 halaman

Benih Ekstremisme Santoso

Perubahan sikap Santoso tak bisa dilepaskan dari pengaruh kelompok-kelompok militan Islam semasa Konflik Poso. Jamaah Islamiyah (JI), salah satunya. Organisasi ini terlibat aktif menyokong kelompok Islam semasa konflik. Alchaidar, pengamat terorisme lulusan Universitas Indonesia, mengatakan jejak ekstrem Santoso sebenarnya sudah terlacak sejak awal 1990-an. Bekas anggota Negara Islam Indonesia ini menyebut Santoso sempat mendapat gemblengan pemahaman agama dari Abu Husna alias Hambali, yang dikenal sebagai salah satu pentolan JI. Bahkan, Santoso disebut Alchaidar sempat menjalani pelatihan militer di Mindanau, Filipina.

Meski begitu, kemampuan yang didapat dari pelatihan militer ini tak membuat lelaki yang beristri dua dan tak lulus Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Poso ini aktif dan menjadi penggawa kelompok tersebut semasa konflik. Ia hanya sesekali datang, itu pun jika ada panggilan amaliyah atau penyerbuan. Namun di saat bersamaan, kata Alchaidar, Santoso mengalami persentuhan ideologis dengan kelompok-kelompok ekstrem Islam yang datang ke Poso.

Kelompok sipil bersenjata yang diduga pimpinan Santoso kembali baku tembak dengan tim gabungan TNI dan Polri di Kabupaten Poso. (Dio Pratama/Liputan6.com)

Benih ekstrem yang ditanamkan JI diperkuat dengan "asupan-asupan" materi dari berbagai kelompok yang mendukung kelompok Muslim selama konflik. Di saat itulah, jejak ekstrem dalam diri Santoso menjadi kuat. Pemahaman agama yang fanatik semakin menguat pascakonflik. Sebab, Santoso kian sering bersentuhan dengan kelompok-kelompok Islam ekstrem yang masih berada di Poso.

Belakangan, bekal pelatihan dan pemahaman agama yang keras inilah yang membuatnya ditunjuk Abu Tholut, penanggung jawab pelatihan militer di Jantho, Aceh pada 2010, sekaligus Ketua Departemen Pendidikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), sebagai Ketua Asykari (Laskar Militer) JAT Cabang Poso pada 2009 dan definitif terbentuk Januari 2011. “(Sikap keras ini) membuat Abu Tholut ketika itu yakin dengan kepemimpinan Abu Wardah (untuk menjadi Ketua Asykari JAT Poso),” ucap Alchaidar.

Terdakwa kasus terorisme Abu Tholut saat tiba di PN Jakbar, Senin (20/6). Abu didakwa terkait dugaan kasus pelatihan militer di Aceh dan perampokan Bank CIMB Niaga Medan, Sumatera Utara.(Antara)

Senada dengan Alchaidar, Taufik Andri, pegiat Yayasan Prasasti Perdamaian, mengatakan benih ekstremisme Santoso juga tak bisa dilepaskan dari sisi Santoso sebagai korban konflik. Santoso merupakan bagian dari warga Muslim yang menjalani konflik horizontal dengan kelompok Kristen. Saat konflik, Santoso menyaksikan banyak warga Muslim yang menjadi korban. Bersamaan dengan itu, dia bersentuhan dengan kelompok ekstrem yang datang dari berbagai daerah ke Poso.

“Ada proses radikalisasi yang diterima Santoso melalui kedatangan orang dari Jawa dengan ideologi tertentu yang membantu warga Muslim Poso untuk mempertahakan diri atau terlibat dalam konflik tersebut,” kata Taufik.

Densus 88 tangani kerusuhan Poso | Via: hizbut-tahrir.or.id

Perlahan, konflik menyisakan dendam dan kebencian. Hal itu pun tak langsung surut saat konflik berakhir. Kekecewaan malah kian bertambah seiring banyaknya masalah yang muncul dalam proses rekonsiliasi. Penyelesaian masalah aset warga tak berjalan lancar. Malah, dugaan korupsi muncul dalam penyelesaian tersebut. Dana untuk rekonsiliasi diduga dikorupsi pejabat daerah. Di sisi lain, petugas keamanan dinilai bertindak tidak adil dengan menerapkan Undang-undang teroris kepada kelompok Muslim dan memberlakukan pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana kepada warga Kristen. Kekecewaan inilah yang makin menyulut kegeraman dan memantik benih ekstremisme Santoso.

Oktober 2009 menjadi momen yang menjadikan ekstremisme Santoso mengkristal. Pertemuan antara Santoso, Yasin dan Abu Tholut menjadi titik awal Santoso menegaskan siapa dirinya. Santoso mengusung pentingnya pelatihan militer di Poso. Pelatihan inilah yang kemudian menjadi ajang Santoso merekrut pengikut. Santoso pun mengadakan tiga pelatihan pada 2011, serta tiga pelatihan pada 2012. Salah satu peserta pada pelatihan Januari 2011 adalah Aryanto Halunta, yang tak lain pelaku penembakan polisi di Kantor BCA Palu.

Ada kesamaan senjata yang digunakan Kelompok Santoso dan Abu Sayyaf.

Selepas penembakan polisi, serangkaian aksi lain pun dilakukan Santoso. Penculikan polisi, bom di kantor polisi, serta penyerangan terhadap iring-iringan mobil patroli Brimob yang melintas di Desa Kalora, Poso Pesisir. Aksi ini dilakukan bukan tanpa tujuan. Sebaliknya, Santoso hendak menunjukan siapa dirinya dan siapa musuhnya.

“Setiap aksi yang dilakukan baik itu penembakan polisi patroli, pengeboman markas polisi di poso, beberapa penembakan polisi di poso maupun di luar poso yang terkait kelompoknya terhadap polisi itu menunjukan penegasan siapa Santoso dan apa agendanya,” ucap Taufik.

Komisaris Besar Polisi, Boy Rafli Amar, memberikan keterangan terkait perkembangan kasus penembakan polisi di BCA Cabang Palu, Sulawesi Tengah, di Mabes Polri, Jakarta. (Antara)

Pemerintah pun merespons perlawanan Santoso. Kepala BNPT Komjen Pol Tito Karnavian mengatakan Santoso telah menjadi simbol dari kelompok yang melawan negara. Oleh karena itu, Tito bertutur, operasi perburuan terhadap Santoso menjadi penting. Bukan semata untuk menumpas para perusuh di tanah Poso. Sebaliknya, sebagai sebuah langkah yang harus diambil negara dalam menegakan kedaulatan,

“Oleh karena itu, penanganan terhadap Santoso sangat penting. Sekali lagi karena simbolnya. Karena menjadi simbol negara melawan kelompok ini,” ucap Tito.