Sukses

Kepala BNPT: Teroris Rekrut Anggota dari Dalam Lapas

Contohnya, bom Thamrin yang justru direncanakan di dalam Lapas Nusakambangan.

Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tito Karnavian mengatakan saat ini para teroris mulai merekrut anggotanya di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).

"Target mereka (teroris) napi dan lapas, mantan narapidana, dan individu prokekerasan yang belum kena pidana untuk deradikalisasi," kata Tito saat RDP dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2016).

Tito melanjutkan, di beberapa lapas justru jadi tempat pelatihan deradikalisasi. Contohnya perencanaan bom Thamrin yang dilakukan di dalam lapas.

"Bom Thamrin sudah diungkap oleh Densus ada sekitar 10 orang yang sudah ditangkap, di antaranya tersangka Abugar yang bilang perencanaan bom Thamrin direncanakan di Lapas Nusakambangan," papar dia.

Untuk itu, sambung Tito, disarankan manajemen yang lebih baik dan treatment khusus terhadap napi teroris dengan membuat pengamanan maksimal, serta membatasi kunjungan terutama untuk napi berisiko tinggi.


Kemudian, lanjut Tito, menjaga keamanan lapas yang maksimal oleh BNPT. Sebab BNPT cukup paham dengan karaterisktik dan nilai budaya masing-masing pelaku teror.

"Dari seribu lebih para pelaku teror di Malaysia, Filipina, Eropa, Irak, dan Afghanistan, hampir semua cara berpikirnya sama, yaitu konsep hijrah," jelas Tito.

Sementara, ujar dia, saat ini BNPT sangat kekurangan sumber daya manusia (SDM). Jumlah personel saat ini hanya 190 orang. Itu pun sudah termasuk PNS dan tenaga honorer.

"Sedangkan beban kerjanya nasional dan BNPT tidak punya cabang-cabang. Perlu penambahan SDM sebanyak 148 orang," ungkap Tito

Selain kekurangan sumber daya, menurut Tito, BNPT juga harus menghadapi ancaman karena jaringan teroris Santoso masih beroperasi.

"Berkembangnya ideologi radikal berdasarkan kekerasan, baik di Jawa dan luar Jawa, lalu berkembangnya isu di global dan pendukung (Santoso) di tingkat lokal Indonesia," ucap Tito.

Kemudian, perkembangan teknologi juga membuat para teroris sulit terdeteksi.

"Radikalisasi dengan anak muda cari-cari online bagaimana belajar bikin bom. Lalu juga berkembangnya kelompok-kelompok lokal seperti ISIS yang punya cabang tertutup," pungkas Tito.