Liputan6.com, Jakarta - Pasar Ikan dan Kampung Aquarium di Penjaringan, Jakarta Utara, kini menyisakan puing-puing. Bangunan-bangunan milik warga luluh lantak rata dengan tanah. Sedangkan ratusan penghuninya hengkang alias angkat kaki dari lokasi yang telah menorehkan kenangan.
Bongkahan bangunan itu tentu menyimpan cerita pahit bagi warga. Mereka teringat saat derap langkah tentara dan polisi terdengar jelang detik-detik eksekusi, Senin 11 April 2016. Kondisi itu membuat suasana mencekam.
Baca Juga
"Tentara sudah bawa tas besar dan senjata laras panjang, polisi udah pakai senjata serbu, pakai tameng, pakai baju anti peluru, udah kayak mau perang aja," kata seorang warga Dewi (54) kepada Liputan6.com, Selasa (12/4/2016) malam.
Advertisement
Melalui komando Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, 4.218 personel gabungan dikerahkan ke tempat penggusuran. Sebelum beraksi, mereka mengikuti apel bersama pada pukul 06.20 WIB. Personel yang terdiri dari TNI, polisi, dan satpol PP itu siap menghadapi 300 KK yang lebih memilih menentang kebijakan penguasa.
Seiring itu, sekitar 11 alat berat di lokasi mulai meruntuhkan satu per satu bangunan di kawasan Pasar Ikan. Warga yang awalnya melawan penggusuran kini tak berdaya menghadapi 2 eskavator. Belalai besi itu terus meruntuhkan rumah dan bangunan. Seakan tak peduli, apakah ada orang atau tidak dalam bangunan itu.
Dewi menuturkan, eskavator itu hanya berjarak 20 meter dari lokasi ibu-ibu yang menentang kebijakan itu. Di pengkolan Pasar Ikan dan Kampung Aqurium, mereka saat itu terkepung oleh aparat. Terlebih saat eskavator terus merangsek, warga semakin terjepit.
Ratusan kaum ibu itu akhirnya dibubarkan paksa aparat. Dewi mengapit anaknya. Namun usaha Dewi sia-sia. Sang bocah terlepas dari Dewi yang ditarik Polwan meninggalkan lokasi.
Tak jauh beda, sejumlah pria menahan hantaman sepatu lars Satpol PPÂ yang berupaya membubarkan aksi. Petugas menarik 2 lelaki dari kerumunan. Mereka seolah diamankan saat kamera menyoroti para aparat. Namun saat belasan kamera kembali beralih ke kerumunan massa, seorang satpol PP langsung memukul pria itu.
Yang menyedihkan, kericuhan itu turut disaksikan anak-anak mereka di antara sela-sela barisan aparat yang mengepung orangtuanya. Usai membubarkan aksi para orangtua mereka, polisi lantas berputar arah menghadapi remaja.
Sama halnya, mereka juga dibubarkan paksa dengan tembakan gas air mata. Dua pistol gas air mata ditembakkan hingga membuat tangis warga pecah.
Perahuku Rumahku
Dengan tatapan nanar, Soncy melihat reruntuhan rumahnya. Dari dalam perahu, wanita berusia 43 tahun itu berdiri menggendong anaknya, melihat 3 eskavator terus menghantam reruntuhan rumahnya. Ia tak ingat lagi, di mana posisi rumahnya.
"Semua udah rata Mas, ini sudah hampir 3 kilo," kata Soncy menunjukkan tumpukan besi yang ia kumpulkan.
Meski ragu, namun Soncy memantapkan hati untuk mempercayai bahwa potongan besi itu adalah bagian dari rumah miliknya. "Mau dijual, buat makan malam nanti. Kalau ada lebihnya, buat bayar kontrakan sekitar sini aja," ujar ibu 3 anak ini.
Suami Soncy tengah bekerja di Sunda Kelapa. Dia kuli panggul dan buruh harian. Jika datang truk untuk muat dan bongkar barang, suami Soncy baru mendapatkan merasa lega. Dari sana ia memperoleh uang untuk makan dan jajan anaknya yang masih sekolah dasar.
Soncy tak sendiri, ada puluhan orang lainnya yang menjadikan perahu-perahu itu sebagai tempat tinggalnya. Kulkas, dispenser, kasur, televisi, piring dan baju bertumpukan di lambung perahu.
Mereka legowo menerima nasib menjadi manusia perahu. Lantaran sadar, tanah yang ditempati bukan miliknya. Namun mereka hanya meminta pemerintah agar bersedia mendengarkan suara hatinya.
"Saya enggak benci Pak Ahok, dia sudah baik, bikin KJP, ini-itu, tegas. Tapi, kami hanya mau didengar, ingin berdialog, kami bukan sampah dan penjahat, enggak usah dikirimi petugas," kata Tropas, warga RT 001 yang juga sebagai koordinator untuk majelis taklim setempat.
Dari puluhan warga yang bercengkrama dengan Liputan6.com, mereka memang mengakui bahwa lingkungan mereka kumuh dan tak layak dimasuki pejabat. Sebab gelap, pengap dan segala bau bercampur menjadi satu.
Antara bau kotoran manusia, bekas sabun, limbah rumah tangga, sayur busuk dan bangkai ikan mengapung kala belalai eskavator mengeruk kali pemisah antara Kampung Aquarium dengan Kampung Luar Batang.
Tapi, mereka pun tak sepenuhnya yakin dengan rumah susun yang bersih, rapi dan tentunya milik pemerintah juga. Mereka mengkhawatirkan pendapat yang hanya 1 sampai 2 juta itu tak akan mampu menopang biaya hidup selama tinggal di rumah susun sewa yang digratiskan Ahok selama 3 bulan saja.
"Kalau di sini, saya bisa ngutang rokok atau mi ke warung tegal milik Bu Sri. Kalau ada rezeki bisa bayar akhir bulan," kata Firman yang lahir dan besar di salah satu petak kecil ruangan di Kampung Aquarium.
Ia dan satu orang adiknya yang masih sekolah SMP tak tahu harus bagaimana lagi. Orangtua mereka yang juga sudah puluhan tahun di Kampung Aquarium belakangan ini sering termenung. Mengingat mereka harus pindah ke rumah susun yang jauh minta ampun.
"Bapak sama ibu berjodohnya di sini, ketemu di sini, pacaran di sini, nikahnya aja yang di kampung, melahirkan saya juga di sini," lanjut Firman sambil mengemasi baju dan kain mereka ke dalam perahu usang yang tengah tertambat.
Advertisement
Mau Kerja Apa?
Firman tak sendiri, ia punya kawan karib. Robert namanya. Warga RT 012 ini bersikukuh tak mau pergi. Ia yang sehari-hari jadi kuli di pasar ikan, terkadang ikut suami Soncy jadi kuli panggul di pelabuhan. Alasannya sederhana, sesampai di Rusunawa ia bakal kerja apa?
Sekolah tak tamat, ayah dan ibu miskin, kerja serabutan. Robert kesal, ketika membaca berita dari temannya. Ia merasa dipojokkan, sebagai kaum miskin kumal ia dianggap tak mau diatur dan mendapatkan hidup yang layak di Rumah Susun Sewaan milik pemerintah.
"Mending jadi gembel dari sekarang, apa gunanya Bang? Pindah, terus 3 bulan abis itu enggak punya uang buat bayar. Gini bang, saya cuma bisa dapat uang Rp 60 ribu sehari, kalau tinggal di sini (Kampung Aquarium) saya engak harus keluar uang buat ongkos, kalau mau ke pelabuhan tinggal jalan kaki juga bisa, ke pasar apalagi," jelas Robert.
Robert mengaku pernah ikut program pelatihan dari pemerintah melalui Dinas Sosial. Pelatihan jadi mekanik di bengkel motor. Tapi keterampilan itu hanya tinggal keterampilan.
"Mau kerja di mana? Bengkel-bengkel udah penuh, saya mah enggak sanggup buka bengkel sendiri, uang dari mana?," ucap pemuda 29 tahun ini.
Robert sejatinya ingin menikah, tapi calon istri sudah pulang kampung. Keluarga si calon memilih pulang, dari pada harus ribut-ribut dengan aparat. Toh mereka bukan warga DKI, dan ngontrak pula di kampung kumuh tempat ribuan orang tumbuh dan dibesarkan menjadi manusia itu.
"Kalau kami masih KTP DKI, kalau dia ama keluarga orang Cianjur, udah pulang semua," tukas Robert sembari memainkan gawainya yang retak diujung kiri layar.
Robert, Dewi, Soncy, Firman dan Tropas hanya sekelumit mereka yang terpinggirkan. Warga kampung Aquarium ini tidak bergaji bulanan. Pendapatan mereka tak tentu tiap bulannya. Terlebih saat ini, sudah dua hari mereka tak bekerja. Jika ingin pindah ke Rusunawa, beberap syarat harus dibawa.
Tapi apa daya, surat-surat dan syarat yang diminta tertimbun di reruntuhan rumah mereka. Selain, KTP dan beberapa barang berharga mereka seperti baju, kompor, lemari dan sofa butut sempat diselamatkan. Selebihnya, tertimbun.
"Namanya juga buru-buru, emak ketinggalan Kartu Keluarga yang ia simpan entah di mana," ungkap Firman.