Liputan6.com, Jakarta - Sepandai pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Mungkin pepatah ini cukup menggambarkan kelicinan buron kasus Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono.
Setelah 13 tahun menghilang atau persisnya sejak pada 28 Mei 2003, Samadikun akhirnya tertangkap. Mantan komisaris utama PT Bank Modern Tbk itu ditangkap di Shanghai, China, atas kerja sama penegak hukum setempat dengan RI.
Saat ini, tim gabungan dari Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Negara (BIN), Interpol, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung masih mengusahakan pemulangan dari China.
"Masih dalam proses pemulangan. Harus segera kita bawa pulang. Namun, tidak bisa langsung kita bawa begitu saja," ujar Jaksa Agung HM Prasetyo ketika dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Sabtu 16 April.
"Ada proses yang harus dilalui, karena yang bersangkutan ada di negara orang," sambung dia.
Samadikun kini telah berada di tempat aman. Namun, Prasetyo tidak bersedia mengungkapkan kapan persisnya penangkapan dan lokasi saat ini.
"Sudah undercontrol pokoknya," Prasetyo memungkasi.
'Perampok' Uang Negara
Advertisement
Samadikun, terpidana kasus BLBI ini tidak dapat dieksekusi badan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1696 K/Pid/2002 pada 28 Mei 2003 karena melarikan diri.
Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan pada 4 Pebruari 1948 ini juga sempat mengajukan peninjauan kembali (PK).
Selama masa pencarian, kejaksaan resmi merilis Samadikun sebagai buron kasus BLBI sejak 28 Mei 2003 di laman resminya.
Bankir lulusan lulusan SLTA itu tercatat tinggal di Jalan Jambu No 88, RT 05 RW 002, Kelurahan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Kejaksaan juga menyebutkan, Samadikun berkulit putih, tinggi badan 170 centimeter, bentuk muka bulat, rambut hitam lurus, mata sipit, dan tubuh tegap.
Samadikun diduga tinggal di Apartemen Beverly Hills, Singapura. Dia juga disebut-sebut memiliki pabrik film di China dan Vietnam.
Kasus BLBI sendiri bermula saat krisis moneter 1997-1998. Sejumlah bank mendapat suntikan dana dari pemerintah. Di antaranya PT Bank Modern Tbk.
Sebagai bank umum swasta nasional, PT Bank Modern Tbk mengalami saldo debet, karena terjadinya rush atau penarikan tunai secara massal.
Untuk menutup saldo debet tersebut, PT Bank Modern Tbk menerima bantuan likuidasi dari Bank Indonesia dalam bentuk Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK), fasdis, dan dana talangan valas Rp 2.557.694.000.000 atau Rp 2,5 triliun.
Namun, Samadikun selaku Presiden Komisaris PT Bank Modern Tbk, menggunakan bantuan itu untuk tujuan yang menyimpang, yang mencapai Rp 80.742.270.528,81 atau Rp 80 miliar. Negara pun merugi hingga Rp 169.472.986.461,52 atau Rp 169 miliar.
Dua Versi Penangkapan
Ada dua versi penangkapan Samadikun. Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan Samadikun menyerahkan diri. Sedangkan Jaksa Agung mengungkapkan pria kelahiran 4 Februari 1948 itu ditangkap tim khusus.
"Logikanya begini, kalau menyerahkan diri, ini kan sudah 13 tahun buron kenapa harus di negeri sana? Kenapa tidak di Indonesia saja?" kata Jaksa Agung HM Prasetyo ketika dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Sabtu 16 April 2016.
Sementara, Kapolri mengatakan tidak mungkin Samadikun ditangkap. "Yang pasti bukan ditangkap. Mana mungkin intelijen menangkap di negara orang," Badrodin menegaskan.
Kendati, penangkapan Samadikun mendapat apresiasi dari sejumlah petinggi negara. Di antaranya Wakil Ketua DPR Fadli Zon, yang menilai hukum haruslah ditegakkan.
"Harus ditegakkan hukumlah. Saya kira ini harus kita apresiasi ada penangkapan seorang terpidana yang DPO dari pengemplang BLBI," tutur Fadli Zon di Cikini, Jakarta Timur, Sabtu 16 April 2015.
Dia berharap penangkapan ini bisa diikuti dengan langkah lanjutan. Tujuannya, agar aparat segera menangkap para DPO yang sekarang ini masih bebas di luar negeri.
Apresiasi juga datang dari Ketua MPR Zulkifli Hasan. Menurut dia, meski sudah berlangsung lama proses pencarian, harus tetap diapresiasi.
"Kita apresiasi walau pun cukup lama, tapi terbukti konsisten aparat kita dan tertangkap, kita apresiasi," kata Zulkifli di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Sabtu 16 April 2016.
Zulkifli menilai, penangkapan tersebut dapat memberikan pelajaran kepada buronan lain. Sebab, aparat penegak hukum masih tetap serius memproses mereka.
"Dengan begitu, saya kira memberikan pelajaran, agar tidak ada yang coba-coba seperti itu. Toh sampai kapan pun akan dikejar kan, yah," pungkas Zulkifli.
Adapun Ketua Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai wajar bila ada perbedaan di antara aparat kepolisian dengan Kejaksaan Agung.
"Kalau polisi dan Kejaksaan Agung berbeda sudah biasa. Karena memang akhirnya harus pengadilan yang memutuskan, kalau dia sudah diproses oleh kejaksaan," ucap Jimly pada kesempatan yang sama.
Menurut Jimly, meskipun seseorang sudah ditangkap, jangan langsung dianggap bersalah. Karena biar bagaimanapun, setiap kasus ada pengadilan yang memutuskan.
"Jangan anggap proses hukum itu pasti jelek, pasti kalah. Biar nanti proses hukum, kita beri kesempatan, itu sebabnya proses peradilan terbuka," ucap Jimly.
Apa pun cara penangkapan Samadikun tak perlu menjadi polemik. Yang jelas ini secercah harapan dalam penyelesaian kasus BLBI dan penegakan hukum di tengah perang melawan korupsi.Â