Sukses

Bagai Belut, Buron BLBI Beringsut

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Aparat penegak hukum harus berkaca pada kasus yang telah lalu, seperti BLBI ini.

Liputan6.com, Jakarta - Samadikun Hartono menghilang pada 28 Mei 2003. Kejaksaan Agung dibuat kelimpungan karena tidak dapat mengeksekusi terpidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono.

Setelah diselidiki, mantan Komisaris Utama PT Bank Modern Tbk itu tinggal di Apartemen Beverly Hills, Singapura. Negara yang masih bertetangga dengan Indonesia.

Dia pun diketahui memiliki pabrik film di Vietnam dan Tiongkok. Namun, selama 13 tahun, Kejaksaan Agung tidak memperoleh kabar tentang terpidana 4 tahun penjara itu. Uang negara Rp 169,4 miliar juga belum dikembalikannya.

Barulah pada April 2016 ini Badan Intelijen Negara (BIN) mendapat kepastian tentang keberadaannya, meski telah memantaunya sejak lama.

"Berdasarkan info intelijen yang sudah matang, saya meyakini SH akan berada pada satu lokasi di Shanghai karena akan menonton Formula One," Kepala BIN Sutiyoso menjelaskan dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com, Senin (18/4/2016).

Namun, bukan perkara mudah untuk memulangkannya. Butuh waktu untuk memulangkan Samadikun dari Tiongkok. Prosesnya harus dilakukan berdasarkan mekanisme internasional yang disepakati dan sesuai dengan hukum negara Tiongkok.

"Proses ini tentu memerlukan waktu," ujar Sutiyoso.

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Aparat penegak hukum harus berkaca pada kasus yang telah lalu. Masih banyak koruptor yang kabur dan berkeliaran di luar negeri.

"Tiga puluh tiga orang di luar negeri. Sangat banyak dan tidak pernah bisa dicari keberadaannya," kata Sutiyoso dalam jumpa pers di Berlin, Jerman.

Beberapa di antaranya merupakan buron kasus BLBI. Mereka biasanya kabur ke luar negeri dengan alasan harus berobat.

Saking lamanya kabur, seorang terpidana seumur hidup kasus BLBI, meninggal dunia di Australia, 26 Januari 2003.

Hendra Rahardja yang merugikan negara Rp 2,659 triliun meninggal dunia pada hari itu. Bekas Komisaris Bank Harapan Sentosa (BHS) ini dikemukakan Yusril Ihza Mahendra yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.


Sejumlah massa tampak menyerukan tuntutan-tuntutannya di depan gedung KPK, Jakarta, Selasa (26/8/14). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Kasus BLBI sendiri bermula saat krisis moneter 1997-1998. Sejumlah bank mendapat suntikan dana dari pemerintah. Di antaranya PT Bank Modern Tbk.

Sebagai bank umum swasta nasional, PT Bank Modern Tbk mengalami saldo debet karena terjadinya rush atau penarikan tunai secara massal.

Untuk menutup saldo debet tersebut, PT Bank Modern Tbk menerima bantuan likuidasi dari Bank Indonesia dalam bentuk Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK), fasdis, dan dana talangan valas Rp 2.557.694.000.000 atau Rp 2,5 triliun.

Namun, Samadikun selaku Presiden Komisaris PT Bank Modern Tbk menggunakan bantuan itu untuk tujuan yang menyimpang, yang mencapai Rp 80.742.270.528,81 atau Rp 80 miliar. Negara pun merugi hingga Rp 169.472.986.461,52 atau Rp 169 miliar.