Liputan6.com, Jakarta - Di salah satu kos-kosan mewah di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, perempuan berambut pirang itu tak sendiri. Di kamarnya ada dua pasang mahasiswi lain yang sedang asyik mengerjakan tugas.
"Di sini aman, Bang, nggak ada yang berani masuk," ujar perempuan dengan kelir rambut pirang, kepada Liputan6.com, Senin (18/4/2016).
Setelah mengambil gadget dari kamarnya, kami menuju sebuah kafe yang tak jauh dari rumah kos tersebut.
"Abang mau yang berapa? Yang bagus atau oplosan," kata perempuan berambut pirang itu membuka pembicaraan.
Lily, panggilannya. Mahasiswa semester empat itu mengaku sudah biasa melayani pemakai sabu pemula. Namun, karena butuh kepercayaan, ia enggan memberikan nomor telepon atau nama lengkapnya.
"Kalau barang bagus, stoknya lagi kosong, yang kelas 3 aja gimana?" bujuk dia.
Untuk sabu jenis oplosan atau kelas tiga, diolah memakai beberapa obat-obatan yang mudah didapat di apotek-apotik terdekat. Namun, ia tak menjamin efek dari sabu tersebut.
"Yang penting nggak mati aja," kelakar Lily.
Untuk sabu kelas tiga, per gramnya dihargai Rp 500 ribu dengan cara pembelian bayar di muka. "Ntar dikibuli, eh tahu-tahunya intel," ucap dia ragu, sembari menanyai Liputan6.com secara rinci dan penuh curiga.
Menurut Lily, untuk mendapatkan sabu di kawasan ini susah-susah gampang. Silap sedikit saja, bisa berurusan dengan penjara.
Pelanggan Lily pun beragam. Ada yang biasa membeli sabu untuk pesta ulang tahun, bahkan pesta kelulusan teman sesama mahasiswa. Banyak juga yang mengonsumsi untuk sehari-hari, atau para pecandu berat.
Pemesan sabu kelas wahid rata-rata mahasiswa atau teman-temannya dari kelas menengah ke atas. Sedangkan pemesan ganja, umumnya mahasiswa di kawasan kos-kosan menengah ke bawah.
"Kalau yang 'ijo' nanti abang urusannya sama cowok gue aja," kata Lily, sambil sibuk mengutak-atik gadget-nya.
Eksistensi, popularitas, dan rasa percaya diri jadi alasan teman-teman Lily. Sebab, kompetisi di perkuliahan menuntut mereka dengan jadwal padat dan tugas yang banyak.
Baca Juga
Baca Juga
"Kalau udah dapet (mengonsumsi sabu), bawaannya tenang, nggak ada masalah. Semua urusan jadi gampang, otak juga jadi encer," terang Lily, sembari menyeruput minuman dingin yang dipesannya.
"Malahan terbantu, nggak tidur dua hari juga nggak masalah," sambung dia.
Tak hanya menjual sabu, Lily juga bisa mendapatkan ganja. Tentunya narkoba jenis ini lebih murah. Dengan Rp 50 ribu, para pemesan 'daun surga' ini sudah dapat tiga sampai empat linting, atau 10 kali lipat lebih murah dari sabu.
"Ya jelas dong, kelasnya beda, kalau mau yang 'ijo' (ganja), cepek juga sudah cukup buat seminggu," ungkap dia.
Entah kenapa, Lily mendadak meninggalkan mejanya, setelah membaca pesan di ponsel pintarnya. Ia bergegas keluar kafe, sembari mengucapkan makian dan tak membayar pesanannya.
Dari literatur dan artikel kesehatan yang dihimpun Liputan6.com menyebutkan, efek samping sabu bisa memacu tekanan darah. Penggunanya mampu terus aktif, tetap terjaga, dan terlihat segar walau pun punya jadwal yang padat.
Namun, psikologis mereka terganggu. Mudah marah, meledak-ledak, agresif, serta percaya diri yang berlebihan, menjadi tanda pecandu narkotika kimiawi tersebut.
Berbeda dengan pengonsumsi ganja, yang mabuk hingga berjam-jam. Mata sayu dan emosional yang berlebihan, mudah tertawa atau menangis tanpa sebab yang pasti.
Advertisement