Liputan6.com, Jakarta - Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang mendapat dukungan dari pemerintah diyakini sebagai langkah serius untuk menangani masalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Banyak yang mulai menyepakati untuk dilakukannya rekonsiliasi atau damai daripada melakukan langkah yudisial. Dalam rekonsiliasi tersebut, diambil untuk dilakukannya rehabilitasi nama atau pemulihan nama baik.
Baca Juga
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, dalam proses rehabilitasi tersebut harus dilakukan dua bagian, di mana salah satu bagiannya adalah merehabilitasi nama Presiden pertama RI Soekarno, selain merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada para korban.
Advertisement
"Rehabilitasi harus dilakukan, terutama bagi Presiden Soekarno," ujar Asvi dalam simposium yang difasilitasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di Jakarta, Senin (18/4/2016).
Â
Baca Juga
Menurut dia, hal ini diperlukan lantaran masih adanya TAP MPR Tahun 1967 yang menyebutkan Soekarno membantu pemberontakan Gerakan 30 September.
"Ini kan tidak mungkin, membantu gerakan yang akan mengkudeta dirinya. Padahal dalam tragedi 1965 itu ada yang diuntungkan dan dirugikan dalam politik. Yang diuntungkan adalah Presiden Soeharto, yang dirugikan adalah Soekarno," ungkap Asvi.
Karena itu, jika pemerintah memang berniat melakukan rehabilitasi, menurut dia pemerintah harus segera mengeluarkan Surat Keputusan Presiden untuk memulihkan nama Soekarno.
"Ya Presiden harus mengeluarkan SK dan kemudian mengeluarkan pernyataan (merehabilitasi nama Soekarno)," tutup Asvi.