Liputan6.com, Jakarta - Pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno menilai "paket' kebijakan transportasi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membatasi kendaraan bermotor di jalur protokol dapat diikuti daerah-daerah lain. Pembatasan jalur motor merupakan kebijakan penuh risiko yang belum tentu mampu diikuti pemimpin daerah lain.
"Ini pelajaran bagi kota lain di Indonesia, bisa dicontoh," ujar Djoko saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (19/4/2016).
Menurut pengamat dari Universitas Soegijapranata Semarang itu, perluasan jalur pembatasan motor merupakan tindakan tepat. Beberapa negara dengan jumlah kepadatan penduduk cukup besar diwilayah perkotannya telah menerapkan kebijakan tersebut.
Baca Juga
"Bila perlu (motor) jangan diberi ruang gerak bebas. Di Jepang saja, tempat asalnya dibatasi. Sepeda motor lebih banyak buruk dari pada baiknya. Makanya negara lain dilarang," terang Djoko.
Djoko menjelaskan, 'paket' kebijakan pembatasan kendaraan bermotor yang akan diterapkan Ahok seperti pelarangan sepeda motor di jalur protokol, penghapusan jalur lambat, dan penerapan jalur berbayar atau ERP merupakan upaya Pemprov DKI mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi menggunakan transportasi massal.
Djoko memperkirakan, diawal penerapannya, kebijakan-kebijakan tersebut akan mendapatkan reaksi cukup keras, khususnya dari pengendara motor, namun ia meyakini masyarakat akan merasakan dampak positif dari kebijakan tersebut.
"Nanti yang akan dimanjain adalah penggunan kendaraan umum,"ucapnya.
Selain itu, Djoko meyakini, sembari menunggu pembangunan transportasi masal yakni LRT dan MRT selesai, kebijakan pembatasan kendaraan pribadi akan efektif untuk mengurai kemacetan di Ibukota. "Kebijakan (pembatasan kendaraan pribadi) bagus, memang tidak bisa dalam lima tahun selesai, karena sudah 50 tahun buruk, masa 5 tahun bisa selesai?" ujar dia.
Terkait rencana Ahok yang akan melakukan pelebaran trotoar menjadi 9,5 meter dengan cara menutup jalur lambat, Djoko menyarankan agar di trotoar tersebut juga dapat dijadikan sebagai jalur bagi pengguna sepeda.
Advertisement
'Babat' Jalur Lambat
Gubernur Ahok berencana menghapus keberadaan jalur lambat di Ibu Kota. Menurut Ahok, trotoar luas lebih diperlukan daripada jalan raya yang lebar. Sebab, penambahan jumlah ruas jalan di Jakarta tidak akan pernah bisa mengatasi masalah kemacetan Ibu Kota.
"Potong pembatasan jalur cepat lambat, ada guna? Enggak ada guna, sama saja. Penuh lagi kok. Lalu kenapa kita potong? Kita pilih sekarang, lebih baik itu dipotong, jumlah jalan sama tapi trotoar jadi 9,5 meter," ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Senin 18 Maret 2016.
Menurut Ahok, saat pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) tahap pertama selesai tahun 2017 mendatang, jalur lambat di Jalan Sudirman-Thamrin akan dihapus untuk memperlebar trotoar. Ahok ingin agar trotoar menjadi lebih luas dari semula hanya 2 meter menjadi 9 meter.
"Kami perlebar trotoar karena nanti orang keluar dari MRT akan jalan kaki lewat situ," ujar Ahok.