Sukses

Propam Hadirkan 10 Saksi Tewasnya Siyono di Sidang Etik Densus

Kesepuluh saksi tersebut telah menjalani pemeriksaan di Divisi Propam Polri beberapa waktu lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Divisi Profesi dan Pengamanan Polri menggelar sidang kode etik untuk 2 anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror terkait penyebab tewasnya terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, Sriyono. Sebanyak 10 saksi dihadirkan dalam sidang perdana kali ini.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Polisi Agus Rianto mengungkapkan 10 saksi yang dihadirkan antara lain orangtua Siyono. Ada juga sejumlah anggota Densus 88 yang bertugas saat penangkapan Siyono, dokter dari Polda Jateng, dan Kapolres Klaten.

"Pemeriksaan pendahuluan kepada pihak yang diperlukan dan teman penyidik Propam," kata Agus di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/4/2016).

Menurut dia, kesepuluh saksi tersebut telah menjalani pemeriksaan di Divisi Propam Polri beberapa waktu lalu. Selain kesepuluh saksi tersebut, pada sidang selanjutnya akan ada saksi lain yang turut diperiksa.

"Sidang ini mungkin akan berlangsung beberapa kali karena tentunya ada banyak pihak yang akan dimintai keterangan supaya betul-betul bisa objektif," ungkap Agus.

Ilustrasi Tangkap Teroris (Liputan6.com/M.Iqbal)

Alasan Sidang Tertutup
 
Sebenarnya sidang kode etik profesi, terang Agus, berlangsung terbuka untuk umum. Hal ini tertuang dalam Pasal 51 ayat 1 Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 19 tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Profesi Polri.
 
"Dalam pasal tersebut memang diamanatkan sidang terbuka. Pada setiap sidang sebelumnya kami terbuka bisa dihadiri berbagai pihak yang diperlukan untuk menyaksikan sidang," terang dia.
 
Hanya saja, lanjut dia, dengan pertimbangan adanya anggota Densus 88 yang turut menjadi saksi, maka sidang digelar secara tertutup. Menurut dia, dalam menjalankan tugasnya, seluruh anggota Densus 88 selalu merahasiakan identitasnya.
 
"Bukan berarti kita tidak transparan karena ini teman densus yang dihadapi kelompok radikal, kelompok teroris, kita tidak tahu di mana adanya orang-orang yang terkait kelompok tersebut. Densus 88 merupakan kesatuan yang kami miliki yang sifatnya tidak untuk kami publish," Agus menjelaskan.