Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Hari Kartini tengah dilangsungkan di seantero Tanah Air dengan semarak. Di tengah-tengah euforia dan semangat mengusung RA Kartini sebagai tokoh emansipasi dan kesetaraan gender, isu lama kembali menyeruak. Beberapa sejarawan menolak penetapan Kartini sebagai simbol pahlawan wanita.
Salah satunya adalah Harsja W Bachtiar. Dalam buku Satu Abad Kartini, dalam artikel berjudul "Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita", Harsja W Bachtiar menulis, "Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut."
Doktor Sosiologi lulusan Universitas Harvard ini menggugat mengapa Kartini yang dijadikan simbol kemajuan wanita Indonesia. Padahal, ada Sultanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Asiyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Keduanya sangat pintar, aktif, dan giat mengembangkan ilmu pengetahuan.
Namun, nama mereka tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka) terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia.
Senada, Rushdy Hoesein, sejarawan Universitas Indonesia, yang dihubungi Liputan6.com via telepon, Kamis (21/4/2016), mengatakan bahwa bangsa Indonesia telanjur menerima mentah-mentah konsep kepahlawanan emansipasi wanita dari Belanda.
Rushdy menceritakan pertemuan Kartini dengan Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia tak terjadi secara kebetulan. JH Abendanon mengunjungi kediaman keluarga Raden Mas Ario Sosroningrat di Jepara atas rekomendasi dari Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat Pemerintah Hindia Belanda.
Sebenarnya pada saat itu, sekitar tahun 1900, ujar Rushdy, ada rencana Nyonya Abendanon akan menjadi petinggi di Belanda. Ditambah adanya niat untuk mengangkat Politik Etis secara menyeluruh. Karena itulah JH Abendanon mencari figur yang paling tepat untuk menonjolkan pentingnya Politik Etis di tanah jajahan. Dari pihak wanita, dipilihlah RA Kartini.
Advertisement
Baca Juga
Pemilihan ini sendiri, kata Rushdy, didasari beberapa alasan. Pertama dan paling kuat, dalam diri Kartini tidak ada motivasi melawan kolonialisme Belanda. Kedua, Kartini berjuang hanya sebatas kemajuan wanita agar tidak melulu menjadi konco wingking. Ketiga, Kartini merupakan bagian dari kepriyayian.
Dalam kacamata Belanda, priyayi adalah jembatan atau tempat bergantung. Jika mereka ingin menerapkan sesuatu di tanah jajahan, Pemerintah Hindia Belanda akan mendekati para priyayi terlebih dahulu. Sepak terjang Kartini dianggap tidak berbahaya karena Kartini hanya membuat sekolah di belakang pendopo rumahnya serta melakukan diskusi kepada para wanita lainnya.
Dengan alasan itulah, kemudian proyek Kartini dijalankan. Tujuh tahun setelah kematiannya, terbitlah Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), kumpulan surat-surat Kartini yang disunting oleh Abendanon. Sekolah-sekolah Kartini di seluruh Indonesia juga didirikan.
Rushdy Hoesein menyebut, bukan Kartini yang mendirikan sekolah ini, tetapi Pemerintah Hindia Belanda. "Namun mereka sengaja memakai nama Kartini," ucap sejarawan yang kini bermukim di Bogor ini.
Harsja W Bachtiar mencatat, dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Boy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sebuah sekolah di Jawa Tengah. Pada 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds yang diketuai C Th Van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini serta ide-idenya kepada orang Belanda.
Hari Kartini Sudah Ada Sejak Era Hindia Belanda
Karena politik inilah, tutur Rushdy, di Belanda banyak sekali arsip tentang Kartini. Sebab, Kartini merupakan bagian dari gaya hidup kolonial Belanda, utamanya gerakan feminisme. Gejolak perlawanannya banyak dipanas-panasi oleh Nyonya Abendanon.
Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink dan istrinya. Ditambah perkenalannya dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jenderal, pada suatu resepsi di Istana Bogor. Kemudian sahabat penanya, Estelle "Stella" Zeehandellar, seorang aktivis yang militan, yang banyak mengenalkan dia pada berbagai ide modern.
Belanda sebenarnya memiliki tujuan menerapkan emansipasi gaya Barat di Hindia Belanda. Karena itulah perayaan Hari Kartini sudah dilaksanakan bahkan sebelum Indonesia merdeka. Rushdy menyebut, "Dulu ibu saya sudah merayakan Hari Kartini dan bahkan menyanyikan lagunya."
Peninggalan Kartini yang berharga, menurut Rushdy, adalah terbukanya kesempatan bagi wanita untuk menempuh sekolah lebih tinggi. HIS (Hollandsch-Inlandsche School) yang berbahasa Belanda boleh dimasuki oleh pribumi. Padahal dulu hanya kaum ningrat yang boleh bersekolah dan kaum pribumi hanya diperkenankan masuk sekolah rakyat.
Dengan demikian, perjuangan Kartini dianggap berhasil. Aristides Katoppo, editor buku Satu Abad Kartini, menulis, "Kartini peka menyongsong keadaan, sementara yang lain masih terkukung dan tersandera keadaan."
Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan penulis Kartini Pribadi Mandiri menganggap tulisan Kartini istimewa dan kritis karena mengangkat isu sosial. Saparinah berpendapat inilah yang membedakan Kartini dengan tokoh perempuan lain. "Karena ia meninggalkan tulisan," ucap Saparinah.
Raden Ajeng Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964. Pemikiran dan perlawanannya terhadap feodalisme, poligami, dan adat istiadat yang mengungkung wanita bermuara pada satu hal yang lebih besar, yakni akses pendidikan yang luas bagi kaum wanita.
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandella pada 9 Januari 1901 Kartini menulis, "Perubahan akan datang di Bumiputera. Jika tidak karena kami, pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara—sudah ditakdirkan."
Advertisement