Liputan6.com, Jakarta - Jalanan Harlem, New York, 1970-an menjadi arena persaingan narkotika. Bisnis haram ini berkembang pesat, terbukti dengan besarnya suplai narkoba di jalanan tersebut. Seorang bandar kulit hitam, Frank Lucas, memegang kendali di jalanan itu. Pasokan heroin dia dapatkan langsung dari Vietnam agar dapat bersaing di jalanan, baik harga pun kualitas.
Perjalanan Frank menjadi bandar tidaklah mulus. Rupanya dia harus berhadapan dengan Richie Roberts, seorang polisi jujur dan berdisiplin kuat. Meski demikian Richie memiliki sisi kelam, rumah tangganya retak, tidak secemerlang kariernya.
Richie penuh kesabaran dan ketekunan membongkar kejahatan narkotika kartel Frank Lucas dan keluarganya. Apa yang dilakukannya membuahkan hasil, yaitu adanya tali temali erat antara peredaran narkotika dengan korupsi yang ada di kepolisian wilayahnya saat itu.
Bekerja dalam diam bersama tim pilihan yang dibentuknya, dia harus ekstra hati-hati bekerja. Jalan panjang dilalui, Richie berhasil menangkap Frank Lucas dan menjebloskannya ke penjara atas kejahatan narkotika.
Tidak berhenti di situ, Richie meminta Frank membuka satu per satu aparat culas yang menerima duit panas narkotika. Beberapa polisi nakal yang memakan duit narkoba juga diseret ke pengadilan.
Sepenggal cerita 'American Gangster' karya Ridley Scott menunjukan semangat pemberantasan narkotika yang tidak melulu mengenai seberapa besar hasil yang diungkap. Tapi, kemana fulus hasil transaksi narkotika mengalir. Bukan tidak mungkin, uang transaksi narkoba menjadi alat transaksional untuk membungkam aparat.
Contohnya pengungkapan suap bandar narkoba terhadap Kepala Satuan Narkoba Polres Pelabuhan Belawan, Ajun Komisaris Ichwan Lubis (IL). Menjadi sebuah ironi di tengah perang narkoba, AKP IL malah menjalin 'hubungan mesra' dengan bandar.
"Hubungan masalah narkoba dan korupsi sebenarnya cukup dekat," kata Komisaris Jenderal Anang Iskandar, 9 Desember 2014. Kala itu Anang menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).
AKP IL tampaknya harus memendam dalam impiannya untuk menjadi perwira karier kepolisian. BNN menjeratnya dengan sangkaan kejahatan pencucian uang dengan pidana pokok narkotika.
IL diduga menerima Rp 2,3 miliar dari seorang bandar agar kasusnya tidak bergulir di BNN.
Tanggal 21 April IL ditangkap Propam di kantor KP3 Belawan dan diserahkan ke penyidik BNN di kantor Polda Sumatera Utara, kemudian langsung dibawa ke BNN Jakarta tanggal 22 April dan langsung dilakukan penahanan.
Kronologi Kasus
Kasus pengungkapan tindak pidana pencucian uang (TPPU) ini diawali dengan penangkapan MR alias Achin, Jumat 1 April 2016 di Medan, dengan barang bukti 46.000 butir ekstasi, 20,5 kilogram sabu, dan 600 ribu happy 5," Humas BNN menambahkan.
Diduga, narkoba itu berasal dari Togiman alias Toge, seorang narapidana Lapas Lubuk Pakam yang ditahan dalam kasus narkotika yang pernah ditangani Polrestabes Medan pada tahun 2011 dengan vonis 12 tahun penjara di Lubuk Pakam, Medan. Kini, Toge sudah ditahan di Kantor BNN, Jakarta.
Namun, sebelumnya Toge juga pernah ditangkap pada 2009. Saat itu ia terjerat kasus narkoba dengan barang bukti tujuh butir ekstasi oleh IL dan divonis 1 tahun penjara.
"Dalam kasus ini ditangkap juga JT (kakak Togiman) oleh penyidik BNN, Kamis 7 April 2016 di Medan, Sumatera Utara karena rekeningnya digunakan oleh Togiman," sebut Humas BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi.
Selain itu, ditangkap pula seorang berinisial TH alias Ahin yang mendapat perintah dari Togiman agar menghubungi AKP IL untuk membantu pengurusan kasus MR alias Achin dengan imbalan sejumlah uang. Uang sejumlah Rp 2,3 miliar tersebut diserahkan tersangka Ahin kepada IL antara 1-7 April 2016.
"Hasil koordinasi penyidik BNN dengan Propam Polda Sumut pada 21 April 2016 IL ditangkap Propam di Kantor KP3 Belawan dan diserahkan ke penyidik BNN di Kantor Polda Sumut yang kemudian langsung dibawa ke BNN Jakarta pada 22 April 2016 dan ditahan," ujar Slamet.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka diancam Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pasal 5 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Jual Nama Komjen Buwas
Penyidik BNN mendapati keterangan dari IL bahwa dia menjual nama Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso kepada bandar narkoba.
Ichwan disebut meminta uang Rp 8 miliar untuk membantu kasus tersebut, di mana dia diberi uang pangkal sebesar Rp 2,3 miliar dalam bentuk tunai.
"Dari hasil pembicaraan, dia meminta Rp 8 miliar. Dia mengatasnamakan untuk pimpinan BNN (Budi Waseso). Kata dia, 'masa pangkat bintang tiga dikasih segitu'. Jadi dia mengatasnamakan BNN untuk menghentikan kasus itu," tutur Buwas, Jumat 22 April 2016.
Sementara itu, Kepala Humas BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi mengatakan, IL dipastikan akan mendapat pemberatan hukuman.
"Ini ‎pelanggaran, baik kode etik maupun pidana. Tidak boleh. Yang namanya bertugas ya tetap bertugas. Karena kalau petugas itu, ‎dia dapat ancaman hukuman pokok dan ada tambahan ‎pemberatan. Karena dia memegang wewenang dan jabatan. Dan jangan lupa, pejabat itu ada tambahan pemberatan dalam hukuman," ujar Slamet.
Untuk masalah kode etik, Slamet mengatakan pihak Polri telah menyambangi BNN untuk menanyakan sejauh mana pelanggaran etika yang dilakukan Ichwan.
"K‎emarin penyidik dari Divisi Profesi Pengamanan Polri merapat ke BNN dalam hal memeriksa dan mencari fakta. Soal kode etik, disiplin. Tapi pidana tidak bisa dihilangkan. Jadi kalau ada pidana dan disiplin, maka pidanalah yang didahulukan," kata Slamet.
Ia pun meyakini, pihak Polri akan bertindak profesional dan memberikan sanksi etika yang berat kepada Ichwan.
"S‎ecara institusional tidak akan merestui kejadian seperti itu. Contoh, AKP IL itu posisi di Sumut, Sumut itu menempati ranking ketiga nasional dalam hal penyalahgunaan narkotika. Ini luar biasa. Makanya menjadi ranking ketiga karena enggak habis-habis," tutur Slamet.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti memastikan tidak ada perlakuan khusus kepada AKP IL. Penyidik BNN, sambung dia, akan mengusut tuntas kasus ini.
"Nah tentu kebijakan saya, siapapun terlibat harus diproses hukum. Terutama terkait dengan pengedar dan juga membekingi," tegas Badrodin.
Dia mengimbau agar kasus ini dijadikan pelajaran bagi para kapolda untuk lebih selektif memilih bawahannya.
"Ya menunjuk kasat narkoba ini kan polda tentu. Polda juga harus selektif untuk masalah itu," kata Badrodin.
Pria berkumis itu juga meminta para kapolda memanfaatkan informasi intelijen sebelum memberi jabatan pada orang tertentu. Namun begitu, dia menolak jika Polri disebut kecolongan dalam kasus ini.
"Saya pikir enggak kecolongan, itu bisa saja terjadi. Karena itu di luar kontrol kapolresnya. Kecuali kalau misalnya kapolresnya juga terlibat," ujar Badrodin.
Tamparan Polri
Kasus yang menjerat AKP IL menampar institusi Polri. Di tengah tabuh genderang perang narkoba, IL justru bercengkrama dengan bandar narkoba.
Komisaris Jenderal Anang Iskandar sudah jauh-jauh hari memberi sinyal adana ceruk korupsi di dalam pemberantasan narkoba. Dia bahkan menyebut ada hubungan dekat antara narkoba dan korupsi.
"Banyak oknum aparat penegak hukum melakukan malah terhadap kewenangannya terutama dalam menangani pengguna narkoba," ujar Anang kala itu.
Bahkan beberapa kali jenderal bintang 3 ini mewanti-wanti penegak hukum kejahatan narkoba untuk mengedepankan moralitas, dibanding mencari celah keuntungan pribadi. Korupsi.
"Kepada penegak hukum yang masih mencari rejeki dari bisnis narkoba kalian sama saja menghancurkan masa depan dan merusak moral bangsa ini," kata Anang, 29 April 2015.
"'Beberapa pihak' yang mempunyai kewenangan menangani masalah narkoba, mengambil keuntungan dari masalah tersebut baik dengan cara memeras, jual beli pasal, menjadi backing jaringan, bahkan menjadi bandar, dan lainya. Mereka menjadikan kasus narkotika menjadi 'ATM' berjalan," Anang menambahkan.
Bukan asal menuding, kala Anang menyatakan hal tersebut saat itu pula publik dibuat geleng kepala dengan kasus Ajun Komisaris Besar Idha Endi Prastiono. Perwira menengah di lingkungan Polda Kalbar itu menyalahi kewenangannya dengan mengubah pasal bandar narkotika. Serta menyalahgunakan barang bukti narkotika.
Kepada Liputan6.com, Anang yang kini menjabat sebagai Kabareskrim Polri menyatakan, seorang penyidik harus bekerja profesional.
"Intinya berpengetahuan, punya kemampuan, keterampilan dan bermoral jujur dan adi. Ini yang perlu dibangun pada semua level kepemimpinan," kata Anang yang tengah mengikuti seminar mengenai kejahatan perdagangan orang di Bangkok, Thailand, Senin 25 April 2016.
Advertisement