Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini publik Tanah Air dikejutkan kasus mutilasi wanita hamil di Tangerang, Banten. Pelaku pembunuhan, yang tak lain adalah kekasih gelap korban, membunuh dan kemudian memotong-motong tubuh wanita bernama Nur Atikah atau Nuri tersebut, hingga membuat jenazahnya sulit diidentifikasi.
Untuk mengungkap siapa korban mutilasi tersebut, penyidik berjuang mengidentifikasi jenazah. Inilah salah satu bagian paling sulit dalam mengungkap sebuah kasus kematian atau pembunuhan di kepolisian.
Uniknya, meski bukan pekerjaan mudah namun penyidik bidang forensik yang bertugas mengidentifikasi jenazah jauh dari pemberitaan. Padahal berkat jasa merekalah, jenazah yang tak dikenali akhirnya bisa diungkap identitasnya dan dikembalikan kepada keluarganya.
Salah satu dokter forensik yang sangat berjasa di negeri ini adalah Ajun Komisaris Besar Dr dr Sumy Hastry Purwanti SpF DFM.
Baca Juga
Dia merupakan dokter forensik perempuan pertama di kepolisian dan telah bertugas belasan tahun di Polri. Tugas besar pertama yang diembannya adalah mengidentifikasi jenazah korban Bom Bali I. Bom besar pertama mengguncang Bali pada 12 Oktober 2002 dan merenggut 202 nyawa. Sebagian besar korban adalah warga negara asing.
Sumy Hastry yang diganjar penghargaan sebagai salah satu Perempuan Hebat Indonesia 2016 oleh Liputan6.com, 21 April 2016 berkisah, sejak awal tak pernah takut menjalankan tugasnya: memeriksa mayat, membedah, dan menutupnya kembali meski hanya seorang diri di ruang mayat.
"Tidak ada (rasa takut), langsung aja, ya saya pikir itu suatu tantangan saya periksa, saya buka, tutup lagi, saya awetkan jenazahnya, saya mandikan, saya kafani, itu semua saya kerjakan sendiri. Itu sudah biasa," ujar Hastry kepada Liputan6.com di Gedung SCTV Tower, Jakarta.
Bahkan, ungkap dokter yang menetap di Semarang ini, tak jarang dia mengajak bicara jenazah yang sedang dibedahnya. "Sering terjadi, kadang saya ajak bicara kadang nggak jelas gitu. Terkunci di kamar jenazah sering, tertidur di sebelah jenazah juga sering, tapi saya sudah biasa," ujar Hastry yang mengaku sering mendapat firasat akan menangani kasus-kasus besar.
Advertisement
Didatangi Dalam Mimpi
Tak jarang dalam mengidentifikasi jenazah dengan kasus sulit, Hastry didatangi dalam mimpi oleh arwah jenazah yang sedang ditangani tersebut.
"Sering dikasi petunjuk, misalnya dia datang dalam mimpi saya. Misalnya, jenazah wanita yang tidak diketahui identitasnya, penyidik kesulitan ungkap kasus itu, nah malamnya saya mimpiin, 'saya punya anak di sini, saya kerja di sini', terus informasi itu saya kasih ke penyidik, penyidik langsung melacak dan oh ternyata betul," ungkap Hastry.
Dari petunjuk dalam mimpi-mimpi Hastry itulah, penyidik kepolisian banyak berhasil mengungkap kasus-kasus jenazah yang sulit teridentifikasi.
Tidak terhitung jumlah jenazah yang sudah berhasil diidentifikasi oleh dokter forensik kelahiran Jakarta 23 Agustus 1970 ini.
"Mungkin bisa masuk MURI, selama 16 tahun tidak terhitung (jumlah jenazah yang berhasil diidentifikasi). Di Jateng tok 100 per tahun, apalagi kalau kasus-kasus bencana," ujar Hastry yang pernah menangani jenazah korban Bom Bali, Air Asia, Malaysia Airlines MH17, Hercules yang jatuh di Medan awal Juli 2015, dan kasus-kasus besar lainnya.
Bahkan, sebelum datang ke kantor Liputan6.com, Kamis 21 April 2016, malamnya Hastry harus mengautopsi jenazah di Pati, Jawa Tengah, dan bersiap melakukan tugas besar lainnya.
Meski sehari-hari berkutat membedah mayat di kamar jenazah, Hastry mengaku tak pernah takut dan dibayang-bayangi saat hendak tidur.
"Nggak pernah kebayang, bobo ya bobo aja," kata dia tertawa.
Satu hal yang membuat dokter forensik Hastry tetap setia melakoni pekerjaannya adalah, "melihat jenazah diidentifikasi dan diserahkan ke keluarganya, kebahagiaan saya itu," ucap Hastry yang mengaku selalu menyediakan ransel untuk pakaian 3 hari dan sepatu boot untuk menjalankan tugasnya setiap saat, dari Sabang sampai Merauke, hingga ke luar negeri.
Advertisement