Sukses

Alasan Ahok Bongkar Lahan Warga Bidara Cina Meski Kalah di PTUN

Ini modal Ahok tetap gusur lahan warga meski kalah di pengadilan.

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyatakan, Pemerintah DKI Jakarta tetap membongkar lahan warga yang terkena proyek sodetan Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur itu, meski pemerintah provinsi selaku termohon kalah gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh warga Bidara Cina.

Ahok bersandar pada Undang-undang Pengadaan Tanah yang mengatur bahwa lahan warga bisa dibongkar asal demi kepentingan negara.

"Kita ada UU Pengadaan Tanah, kalau ada kepentingan negara dan kepentingan umum yang tidak bisa dipindahkan, maka kami akan menggunakan harga pasar tanah tersebut," kata Ahok di RPTRA Rasamala, Menteng Dalam, Jakarta Selatan, Jumat (29/4/2016).

Nantinya, lahan warga yang dibebaskan dengan membayar ganti rugi pembelian tanah sesuai harga pasar. Bila warga tidak mau, Pemprov DKI akan menempuh upaya hukum.

"Kalau dia tidak mau mengambil (ganti rugi ), kami akan minta penetapan Pengadilan Negeri, konsinyasi, biar uangnya di sana. Dia mau atau tidak, kami tetap bongkar," kata Ahok.

Saat ini Pemprov DKI Jakarta sedang memproses pendataan lahan dan sosialisasi di kawasan itu, serta mempelajari kekalahan dalam sidang gugatan di PTUN dan akan mengajukan Kasasi.

Diketahui, proyek sodetan Sungai Ciliwung merupakan proyek Pemerintah Pusat meski pembebasan lahan menjadi kewenangan Pemprov DKI.

Seperti diketahui, warga Bidara Cina, Cawang, Jakarta Timur, memenangkan gugatan terkait penerbitan Surat Keputusan Gubernur Nomor 2779 Tahun 2015 tentang lokasi sodetan Kali Ciliwung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Surat Keputusan (SK) Gubernur tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Nomor 81 Tahun 2014 tersebut berisi Penetapan Lokasi Pembangunan Inlet Sodetan Kali Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur (KBT).

Dalam putusan di persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tersebut, menyatakan SK yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan ditandatangani Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok itu batal.