Sukses

Berdamai dengan Masa Lalu ala Hamka dan Pramoedya

Perang pemikiran, kritik, dan ide antara Hamka dan Pramoedya terjadi sejak era Orde Lama, hingga ketika rezim itu tenggelam.

Liputan6.com, Jakarta - Pramoedya Ananta Toer kerap berpolemik. Salah satu lawan polemiknya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka, seorang penulis dan ulama kondang.

Relasi antara Hamka dengan Pramoedya diwarnai pertentangan mengenai ideologi dan pemikiran budaya. Perbedaan visi, saling kritik, dan perang ideologi keduanya berlangsung sejak era Orde Lama hingga lahirnya Orde Baru.

Melalui harian Bintang Timur, dalam Lembaran Lentera yang diasuh oleh Pram, karya-karya Hamka menjadi bahan kajian kritis.

Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck disebut sebagai jiplakan dari novel Magdalena karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, seorang penulis Mesir.

Dalam sebuah ulasan, Hamka juga disebut mencuri karangan Alvonso Care, seorang pujangga Perancis. Polemik berlangsung keras. Banyak orang percaya, sudah bersifat personal.

Setelah Gerakan 30 September meletus, Pram ditahan di Pulau Buru selama belasan tahun. Dari tanah pengasingan itu, Pram justru menyelesaikan karya-karya monumentalnya seperti tetralogi Bumi Manusia. Dibebaskan dari Pulau Buru pada 1979, Pramoedya tak menjalin kontak lagi dengan Hamka.

Namun, seperti diungkap Irfan Hamka dalam buku Ayah..., Hamka sudah memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya, termasuk Pramoedya -- yang meninggal dunia pada 30 April 2006 itu. 

Sementara itu, menurut Irfan, Pramoedya pun sebenarnya telah meminta maaf kepada Hamka, walau kata maaf tidak pernah diucapkan secara langsung. Irfan pun mengungkap sebuah kisah bagaimana kedua tokoh sastra itu berdamai,  saling menghargai kendati perang pemikiran tidak pernah  terhenti. 

Kisah tersebut berawal saat Hamka kedatangan sepasang tamu, satu seorang perempuan dan seorang pria. Kepada Hamka, si perempuan memperkenalkan diri sebagai Astuti.

Sedangkan yang laki-laki bernama Daniel Setiawan. Yang mengejutkan Hamka, perempuan yang berdiri di hadapannya itu ternyata puteri Pramoedya, orang yang selama ini berseteru dengannya.

 

2 dari 3 halaman

Belajar Islam dengan Hamka

Astuti kemudian menyampaikan maksud kedatangannya, Ia menemani sang kekasih yang ingin masuk Islam. Pramoedya, konon, tidak setuju jika Astuti menikah dengan laki-laki yang berbeda agama.

Selesai Astuti mengutarakan maksud kedatangannya, tanpa ragu, Hamka meluluskan permohonan itu. Daniel Setiawan, calon menantu Pramoedya, langsung dibimbing oleh Hamka membaca dua kalimat syahadat.

Hamka lalu menganjurkan Daniel untuk berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar Islam. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya.

"Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara keduanya," tulis Irfan, anak ke-5 Hamka tersebut.

Fragmen ini sempat diceritakan oleh Hoedaifah Koeddah, seorang dokter yang dekat dengan Pram. Hoedaifah menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang selama ini ia "serang" melalui tulisan- tulisannya.

Pramoedya mengatakan, "Karena saya tidak mendidik anak saya, justru ibunya yang mendidik menjadi muslimah yang baik. Masalah perbedaan pandangan dengan Hamka, tetap. Tapi, di Indonesia, Buya Hamka yang paling mantap membahas tauhid. Belajar Islam, ya belajar tauhid."

"Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka," ucap Pramoedya seperti dituturkan Hoedaifah dalam majalah Horison.  

 

3 dari 3 halaman

Ungkapan Maaf Pram

Taufiq Ismail dalam pengantar di buku Ayah... menilai, secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar kepada Hamka sebagai ungkapan maaf. 

"Bahwa Pram menyuruh calon menantunya pergi ke rumah Buya Hamka (bukan ulama lain), saya membaca peristiwa ini sebagai ungkapan minta maaf dari Pram, secara tidak langsung, dengan gaya khas orang Jawa," ujar Taufiq.

Hamka pun tidak menaruh dendam kepada Pramoedya. Bahkan, dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki pada 1969,  Hamka mengutuk tindakan pembakaran buku-buku Pram yang dianggap mengandung ajaran komunis.

"Kalau tidak menyukai sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula," kata Hamka.   

Â