Sukses

Ketua DPRD DKI Akui Pernah Jadi Anak Buah Bos Agung Sedayu

Meski begitu, Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi menepis bahwa dalam pertemuan itu ada permintaan fee terkait pembahasan raperda.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami kasus dugaan suap dalam pembahasan dua raperda reklamasi pantai utara Jakarta. Komisi anti rasuah itupun memeriksa Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi sebagai saksi. Dia harus memberikan keterangan untuk tersangka, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja.

Diperiksa kurang lebih 10 jam, Politikus PDIP itu mengakui bahwa dia memang bertemu dengan bos PT Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma atau Aguan.

"Sebetulnya itu silaturahim, kan enggak masalah," ujar Prasetyo usai diperiksa di gedung KPK Jakarta, Selasa 3 Mei 2016.

Prasetyo tak membantah kesaksian Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik yang mengatakan, dia adalah bekas anak buah Aguan.

"Saya kan bekas salah satu karyawan beliau (Aguan)," ungkap Prasetyo.


Meski demikian, dia menepis bahwa dalam pertemuan itu ada permintaan fee terkait pembahasan raperda reklamasi.

"Enggak ada," tutur Prasetyo seraya masuk ke dalam Toyota Innova putihnya.

Di kantor DPD DKI Gerindra pada 26 April 2016, Taufik membenarkan ikut dalam pertemuan tersebut. Dia mengatakan, pertemuan itu diinisiasi oleh Ketua DPRD DKI Edi Prasetyo Marsudi. Bahkan Politikus Gerindra itu menyebut, Prasetio merupakan bekas karyawan Aguan.

KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja, dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro.

Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar‎ dari PT APL terkait pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Di mana kedua raperda itu sudah 3 kali ditunda pembahasannya di tingkat paripurna.

Adapun selaku penerima, Sanusi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

‎Sedangkan Ariesman dan Trinanda sebagai pemberi dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.