Liputan6.com, Jakarta - Bullying kembali terjadi di SMA Negeri 3 Jakarta, Setiabudi, Jakarta Selatan. Tindak intimidasi itu dilakukan 5 siswi kelas XII dengan korbannya 4 siswi kelas X.
Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, sekolah diharapkan menjadi tempat pembentukan karakter anak agar menjadi pribadi yang unggul dalam kualitas. Sekolah bukan tempat terjadinya bully.
"Kejadian di SMA Negeri di kawasan Jaksel merupakan potret buruk dari dunia pendidikan, praktik bullying harus diputuskan mata rantai dengan cara membuat suatu aturan dan sekaligus melaksanakan aturan yang sudah ada secara tegas," ujar Erlinda kepada Liputan6.com, Rabu (4/5/2016).
Baca Juga
Erlinda mengatakan, keseimbangan antara penghargaan dan hukuman di sekolah, harus diatur secara jelas dan tertulis oleh pihak sekolah agar siswa memahami ganjaran yang akan diterima bila ketahuan melakukan bullying. Karakter saling menghargai di antara perbedaan harus ditanamkan oleh pihak sekolah.
Advertisement
Baca Juga
"Dalam praktik belajar-mengajar di lingkungan sekolah, wajib diterapkan aturan yang mengikat mengenai keseimbangan antara reward dan punishment atau konsekuensi. Setiap anak diajarkan untuk menghargai dirinya dan orang lain," ucap Erlinda.
Ia menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat anak berkarakter pem-bully, di antaranya kebiasaan di rumah, lingkungan sekitar dan hal-hal yang biasa dilakukan si anak.
"(Faktor bullying) kebiasaan di lingkungan rumah karena itu juga mempengaruhi karakter anak. Termasuk lingkungan sekitar, serta apa yang menjadi kebiasaan anak," kata Erlinda.
KPAI Ditolak Sekolah
Sejumlah pihak mendesak agar pelaku bullying ditindak tegas. Untuk itu, Kepala Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda bersama rombongannya pun menggelar inspeksi mendadak atau sidak di SMAN 3 Jakarta itu. Namun kedatangan rombongan pemerhati anak itu justru mendapatkan penolakan dari pihak sekolah.
"Padahal hari ini tepat peringatan Hari Anti Bullying Internasional," kata Erlinda di SMAN 3 Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (4/5/2016) sore.
Berdasarkan pantauan di lapangan, Erlinda datang bersama Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Susanto. ‎Erlinda dan Susanto mencoba masuk, namun dihadang sekuriti dan petugas kebersihan di lobi sekolah.
Petugas mengatakan, saat ini sedang ada rapat dewan guru terkait kelulusan siswa kelas XII yang telah selesai melaksanakan Ujian Nasional (UN), dan siapa pun tidak boleh masuk. Bahkan sejumlah awak media yang hendak meliput pun tertahan di depan gerbang sekolah.
Erlinda tampak kecewa dengan penolakan tersebut. Dia kemudian menghubungi Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Sopan Adrianto melalui saluran telepon. Tak lama berselang, Kepala SMAN 3 Jakarta Ratna Budiarti turun ke lobi sekolah menyambut rombongan KPAI dan meminta maaf karena sedang ada rapat.
"Mohon maaf kami sedang ada rapat kelulusan dan tidak bisa lepas dari pengawasan saya," ujar Ratna kepada rombongan KPAI.
Erlinda dan Susanto pun hanya bisa pasrah menerima penjelasan dari sang kepala sekolah. Mereka menghormati agenda sekolah dan akan datang kembali di lain waktu.
"‎Akan kami rencanakan waktu yang tepat, atau kami cari waktu yang sesuai dengan kelonggaran pihak sekolah," ujar Susanto.
Sebelum meninggalkan lokasi, Susanto menjelaskan bahwa KPAI serius dalam memerangi kekerasan terhadap anak. Kasus bullying yang marak terjadi di tataran kaum remaja merupakan tanggungjawab bersama antara orangtua, guru, dan pemerintah.
"Karena bullying ini telah jadi musuh bersama, dan sekarang sedang berproses. Kami sedang mengawal peraturan presiden terkait tentang anti kekerasan, semoga ini menjadi trigger agar proses pembahasan antikekerasan sesegera mungkin dapat diselesaikan," ucap Susanto.
Advertisement
Usul Kampanye Bijak Penggunaan Internet
Aksi bullying yang diduga kuat dilakukan oknum siswi SMA 3 Setiabudi, Jakarta Selatan menjadi sorotan publik. Video aksi perpeloncoan senior terhadap junior itu bahkan telah menyebar di sejumlah sosial media.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai seharusnya ada kampanye cyber atau internet yang serius dilakukan oleh pemerintah.
"Ini kayaknya tidak ada kampanye cyber formil dari pemerintah. Sebab sekarang gadget kan masuk ke tangan anak (anak mudah memilik gadget). Itu harusnya sudah jadi problem sosial," ungkap Fahri di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/5/2016).
Ia pun bercerita saat pertama kali memberikan handphone kepada anaknya sampai anaknya itu menjadi sangat kreatif.
"Saya pernah ya, memberikan HP dan akses wi-fi (nirkabel) kepada anak saya sejak dia masih SMP. Dan tiba-tiba anak itu jadi kreatif dan Youtuber bahkan anak saya sampai terima gaji dari YouTube itu," Fahri memaparkan.
"Tetapi saya baca ulang ternyata banyak sekali soal-soal negatif yang muncul maka saya kompromi dengan anak saya, saya matikan wi-fi dari dia dan saya cabut kembali HP-nya sambil kemudian saya berdialog dengan dia secara baik supaya dia mengerti ini problem," Fahri menambahkan.
Fahri menegaskan bagaimana kalau sampai masalah sekecil ini yang seharusnya menjadi urusan keluarga, tetapi jadi masalah negara.
"Nah sekarang bayangkan kalau dalam satu keluarga saja bisa memunculkan problem seperti itu, bagaimana kalau di dalam di ruang publik dimana negara semakin hari semakin digenjot untuk menciptakan bandwith yang besar bagi rakyat, tetapi kita sendiri tidak pernah mengedukasi publik dan khususnya anak-anak untuk menggunakan HP secara bijak," Fahri menerangkan.
"Lalu bagaimana menggunakan akses sosial media internet secara bijaksana. Nah ini harus ada kampanye. Korban sudah terlalu banyak dan berjatuhan sampai hari ini," Fahri menambahkan.
Kasus bullying di SMA 3 Setiabudi ini heboh setelah video berdurasi 37 detik diunggah di akun Instagram Momoviyana. Video yang diunggah sejak 5 hari lalu itu telah mendapatkan ribuan like dan comment dari para netizen. Komentarnya pun beragam.
Informasi yang dihimpun, aksi tersebut diduga dilakukan pada Kamis 28 April 2016. Kejadian tersebut bermula saat ‎korban pergi ke acara ulang tahun temannya di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Saat itu korban yang diantar oleh orangtuanya, dinilai oleh para seniornya sebagai anak mami.
‎Beberapa hari kemudian, korban dibawa ke luar sekolah oleh sejumlah siswi kelas XII dan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
Siswi SMAÂ itu dimaki, disiram air dan abu rokok. Korban juga sempat dipaksa merokok. Bahkan korban juga mendapatkan pelecehan seksual secara verbal dan non-verbal dari para seniornya.