Liputan6.com, Jakarta - Sidang etik terhadap dua anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri penjemput terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, Siyono masih berlangsung. Agendanya pada pekan ini adalah mendengarkan pembelaan dari dua anggota Densus tersebut.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigjen Boy Rafli Amar belum mau membeberkan hasil sidang etik tersebut. Sebab saat ini majelis etik masih menggelar agenda sidang. Tapi yang jelas, sambung dia, dua anggota densus itu tidak akan dikenakan pidana.
"Sementara tidak demikian (dikenakan pidana), karena fokusnya lebih pada prosedur operasional di lapangan yang diduga terjadi pelanggaran dalam penerapannya di lapangan," kata Boy di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (4/5/2016).
Baca Juga
Boy menjelaskan, majelis etik berpedoman dengan tiga tuntutan terhadap dua anggota densus tersebut. Yakni meminta maaf kepada organisasi Polri, kedua demosi tidak percaya atau tidak layak sebagai anggota densus, dan yang terakhir adalah dipecat dengan tidak hormat.
"Bisa, bisa antara 3 itu dipenuhi semuanya. Atau bisa lebih lagi (sanksinya), ada tambahan yang administratif," terang Boy.
Sebelumnya, pihak keluarga Siyono meminta agar kasus tersebut tak berhenti di ranah etik saja, melainkan juga dibawa ke ranah pidana.
"Karena berdasarkan bukti forensik, Siyono meninggal di dalam kekuasaan atau kendali pihak kepolisian," ujar pengacara Siyono, Trisno Raharjo saat dihubungi di Jakarta, Selasa 19 April 2016 lalu.
Trisno menambahkan, pihaknya juga sudah mengirimkan surat permohonan ke Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti agar kasus tersebut dibawa ke ranah pidana, meskipun hasil sidang etik nantinya tidak ditemukan adanya pelanggaran profesi terhadap 2 anggota Densus tersebut.
Kami sudah kirim surat ke Kapolri, tembusan ke Presiden, Menko Polhukam, Komisi III DPR, Komnas HAM, dan Kompolnas. Isi surat itu, kami minta ada atau tidaknya putusan etik untuk segera ditindaklanjuti sebagai suatu perkara tindak pidana," ucap Trisno.