Liputan6.com, Jakarta - Dunia pendidikan Indonesia tengah berduka. Putri terbaik bangsa, Siti Rahmani Rauf yang dikenal karena metode belajar membaca 'Ini Budi' meninggal dunia di usia 96 tahun. Pengajar yang akrab disapa Nenek Rauf ini wafat pada Selasa 10 Mei 2016 sekitar pukul 21.20 WIB.
Namun ada hal yang menarik terkait sosok Nenek Rauf yang selama ini dikenal publik. Ternyata, perempuan yang sangat mencintai dunia pendidikan ini bukanlah pencetus metode baca 'Ini Budi'. Ia bukan pula penyusun buku pelajaran bertajuk Mari Membaca Bahasa Indonesia di akhir dekade 70-an dan era 80-an.
"Ibu saya ini bukan penulis buku Ini Budi. Beliau hanya meneruskan dengan membuat alat peraga membaca. Tolong media jangan salah," ucap salah satu putri Nenek Rauf, Hasrani saat ditemui di rumah duka Jalan Jati Petamburan I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (11/5/2016).
Hasrani mengaku tak tahu siapa yang pertama kali memiliki ide memilih nama Budi sebagai metode belajar membaca dengan mengeja. Saat itu, menurut Hasrani, buku belajar membaca 'Ini Budi' telah dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan.
"Mungkin ada tim di pemerintah yang menyusun buku itu," tutur dia.
Baca Juga
Kendati begitu, Nenek Rauf tetap dikenal sebagai anak bangsa yang berjasa dalam transformasi pendidikan di Indonesia. Sosoknya juga tetap melekat dengan metode belajar membaca 'Ini Budi' yang tak asing di telinga pelajar sekolah dasar di era 80-90 an.
Hal senada disampaikan putri keempat Nenek Rauf, Karmeni Rauf. Dia mengatakan, ibunya merupakan pencipta alat peraga untuk pelajaran mengeja Bahasa Indonesia pada 1984. Alat peraga itu berupa papan karton yang memunculkan lima anggota keluarga Budi dan kartu kalimat nama-nama mereka.
"Dengan alat peraga itu, siswa dan guru diajak sama-sama aktif dalam belajar huruf dan kalimat. Ini disebut metode SAS (Struktural Analitik Sintetik)," ujar Karmeni di rumahnya.
Alat peraga itu, menurut Karmeni, kemudian diringkas di dalam sebuah koper berukuran 60 x 60 sentimeter dengan tebal 15 cm. PT Yudi Kiki Kencana kemudian tertarik untuk memproduksi alat peraga itu dalam jumlah besar.
Namun Nenek Rauf tidak mau idenya membuat alat peraga itu ditukar dengan uang atau royalti. Mantan Kepala SDN 5 Tanah Abang di era 1980-an itu hanya meminta syarat sederhana untuk produsen alat peraga tersebut.
"Mami hanya minta diberangkatkan haji. Alhamdulillah, itu terlaksana pada 1986," ucap sang putri.
Alat peraga itu sempat menyebar di Jawa dan Sumatera. Tetapi, penggunaan alat peraga itu tak bertahan lama. Sejak 1992, alat peraga tersebut tak lagi digunakan. Namun Karmeni sempat menemukan sisa-sisa alat peraga itu di beberapa SD di Jakarta pada 1994.
Saat ini penggunaan alat peraga karya Nenek Rauf tak ada lagi, seiring perkembangan zaman dan kurikulum yang berbeda. Karmeni mengaku sedih dengan kondisi tersebut. Apalagi alat peraga itu dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak-anak.
"Meski guru capek, namun anak-anak dapat lebih 'hidup'," putri keempat Nenek Rauf tersebut memungkas.
Advertisement