Liputan6.com, Jakarta - Abdul Mun'im Idries baru saja menginjak lantai rumahnya di Cengkareng, Jakarta Barat. Tiba-tiba telepon genggam dokter forensik itu berdering.
"Dok, bantu kami, dok. Ada korban penembakan." Mun'im mengenali suara itu: Kasat Serse Polres Metro Jakarta Barat, Kapten Idham Azis. Malam itu, Selasa 12 Mei 1998.
"Di mana, Pak?"
"Korban ada di RS Sumber Waras. Dokter meluncur saja ke pos polisi di Terminal Grogol."
Tanpa mengganti baju, Mun'im segera menuju pos polisi tersebut. Sesampai di sana, ia diminta menunggu. Sampai pukul 23.00 WIB, tak ada kabar.
Mun'im lalu berujar, "Pak, daripada menunggu tidak jelas, lebih baik saya berangkat ke Sumber Waras. Toh tidak jauh dan jalanan sepi, tinggal lurus saja."
Baca Juga
Usul Mun'im diterima. Polisi tak berseragam memboncenginya dengan sepeda motor. Dua petugas lain menemani, dengan sepeda motor berbeda. Jakarta sunyi mencekam. Para polisi itu memilih jalan tikus, bukan menyusuri jalan utama.
"Pak dokter, kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Ini semua demi keselamatan dokter," kata si petugas ketika ditanyakan soal pilihan rutenya seperti diceritakan Mun'im dalam buku "Indonesia X-Files: Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir."
Advertisement
Setiba di RS Sumber Waras, Mun'im baru tahu ada empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka menjemput ajal di kampus usai berdemonstrasi.
Demonstrasi didorong ekonomi Indonesia yang kolaps sepanjang 1997-1998. Banyak perusahaan gulung tikar, gelombang PHK massa menerjang. Rezim Orde Baru jadi target kemarahan. Para mahasiswa di seluruh Indonesia turun ke jalan, termasuk para mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka bergerak dari kampus Trisakti di Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat, menuju Gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun mereka dihadang polisi dan militer di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat.
Mahasiswa coba bernegosiasi. Tetap dilarang ke Senayan. Mereka pun menggelar aksi di Jalan S Parman tersebut.
Pada pukul 17.15 WIB, para mahasiswa mundur ke arah kampus. Ketika sebagian besar mahasiswa telah masuk ke halaman kampus, terdengar bunyi tembakan beberapa kali. Arahnya dari jembatan layang Grogol. Tak jelas siapa pelakunya. Saat tembakan reda, diketahui empat mahasiswa tewas.
Luka Tembak Mematikan
Sebelum autopsi, Mun'im harus membujuk keluarga korban yang melarang.
"Bu, memang benar yang sudah wafat tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi almarhum masih mempunyai hak, hak untuk memperoleh keadilan..." kata Mun'im saat itu -- pakar forensik legendaris ini meninggal dunia pada 27 September 2013.
Sekitar 15 menit negosiasi berlangsung. Akhirnya autopsi bisa dilakukan.
"Masing-masing mendapat luka tembak pada daerah yang mematikan, bukan untuk melumpuhkan. Ini jelas dari lokasi luka tembak...Ada di dahi dan tembus ke daerah belakang kepala, ada di daerah leher, di daerah punggung, dan ada yang di daerah dada," tulis Mun'im. Semua tewas karena peluru tajam.
Sesuai kesepakatan, Mun'im mengontak petugas Polres Jakarta Barat, memberi tahu bahwa autopsi kelar. Jarum jam menunjukkan pukul 04.00. Bukan diantar kembali ke rumah, Mun'im malah diajak ke Mapolda Metro.
Kapolda Metro, Mayjen Pol Hamami Nata, telah menunggu. Mun'im menjelaskan hasil autopsi seraya menunjukkan proyektil peluru yang membunuh empat pemuda itu. Hamami termangu, matanya menerawang.
"Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?" ujar Hamami. Berulang kali Hamami menegaskan hal itu.
Mun'im langsung menduga bahwa Polda Metro dikerjain. Entah oleh siapa.
Advertisement