Liputan6.com, Jakarta - Seekor elang bondol bertengger anggun di atas beton yang menjulang tinggi sambil mengepakkan kedua sayapnya. Matanya mengawasi sekitarnya. Di cakarnya, tercengkeram segerombolan benda lonjong bertekstur kasar.
Tak banyak yang tahu jika benda tersebut adalah buah salak dari Condet. Elang dengan salak Condetnya itu tak cuma ada satu, mereka tersebar di seantero wilayah administrasi Jakarta, khususnya daerah perbatasan.
Karena kekhasannya, keduanya dinasbihkan menjadi maskot Ibu Kota lewat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No 1796 Tahun 1989.
Namun keberadaan dua spesies itu saat ini terancam punah dan dilupakan, khususnya salak Condet, buah yang pernah berjaya di Jakarta pada awal 80-an. Namun lahannya kini tergeser oleh hamparan beton di Condet.
Advertisement
Baca Juga
Salak dan Parfum
Tiga untuk parfum dan hanya satu salak Condet. Kira-kira begitu gambaran kepopuleran parfum di kawasan Condet yang mengalahkan kemasyhuran sang tuan rumah, yakni salak.
Sedikit melakukan riset sederhana di kawasan Pasar Grosir Cililitan (PGC) dan sekitarnya. Dari 20 warga Jakarta yang ditanya tentang satu kata yang terlintas saat mendengar kata Condet, 16 di antaranya menyebut parfum.
Memang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun, percobaan itu sedikit menggambarkan bahwa salak Condet mulai terlupakan di benak masyarakat DKI Jakarta.
Dulu, banyak perkebunan salak yang terbentang di seantero Condet. Tak ada di bagian Jakarta lain selain Condet.
Sajian Istana
Murhasim, tokoh masyarakat di daerah Balekambang Condet mengatakan, sejak dahulu secara turun-temurun keluarganya berkebun salak dan dukuh khas Condet.
Menurut dia, salak Condet dapat menjadi maskot karena pada zamannya, tanaman bernama latin Salacca Edulis Cognita itu dianggap mewah dan memang sangat terkenal di Ibu Kota.
"Ya terkenal. Pejabat, Gubernur DKI, itu favorit nya makan dukuh Condet dan salak Condet. Itu pun jadi sajian Istana," ujar Murhasim saat berbincang dengan Liputan6.com di rumahnya RT 05 RW 05, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Pria berusia 60 tahun itu bercerita, dulu kebun Salak miliknya sangat luas. Semua pohon yang ada sudah tumbuh secara alami. Keluarganya hanya tinggal merawat dan memanen hasil yang ada.
"Dulu itu istilahnya perkebunan milik para wali. Saya punya pohon dulu. Tumbuh alami sendiri. Kakek saya usianya 110 tahun. Bapak 90 tahun. Terbiasa berkebun salak sejak saya kecil," imbuh dia.
Perawatan salak Condet di masa lalu pun tak sembarangan, sangat diperhatikan. Menurut pria yang juga merupakan Ketua Pengurus Masjid Daruarussalam, Balekambang itu, tiap satu tangkai pohon salak Condet yang berbuah, tidak langsung dipetik semua.
Bakal buah yang masih muda pun sering sengaja dikorbankan agar mendapat hasil buah yang besar dan enak.
"Kalau orang Condet dulu itu (merawat pohon salak) dipelihara, ditutupin. Salak Condet nya diawasi mulai dari bunga, kemudian mekar dan seterusnya. Itu dilihatin (buahnya) bisa besar atau kecil. Kalau kelihatan bisa besar itu sengaja diambil satu (bakal buahnya) supaya ukurannya besar. Kalau nggak dibuang, nanti pada mencar tinggal gagang doang," terang dia.
Salak Sebesar Kelapa
Sebenarnya salak Condet dan salak pondoh memiliki ukuran yang tidak jauh berbeda. Namun salak dari Condet memiliki potensi tumbuh dengan ukuran melebihi salak standar. Bisa sebesar kelapa.
"Itu (salak Condet) memang kalau yang bibitnya bagus, itu bisa sebesar kelapa ukurannya," terang Murhasim.
Adapun soal rasa, bagi Murhasim, salak Condet itu tidak ada duanya. Dalam satu kebun salak Condet, bisa muncul bermacam-macam rasa di setiap pohon yang berbuah.
"Kalau pondoh kan salak nya tipis, bijinya besar. Kalau salak Condet bijinya kecil, dagingnya tebal, rasanya bisa macam-macam tiap pohon. Bisa sepet manis, manis saja, asem manis sepet. Kalau salak Pondoh itu ya manis saja. Dan kalau digigit kan licin gitu. Kalau salak Condet itu keset," jelas Murhasim.
"Kakek saya itu erat dengan Pak Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta). Pak Ali juga suka mampir sesukanya buat makan pakai ikan asin, sambel pucung. Yang namanya buat pejabat pun kakek ada pohon khususnya. Jadi salak itu besar-besar dan rasanya itu bahkan ada yang rasa coca-cola," kenang dia.
Namun makin hari, keberadaan perkebunan salak Condet makin tergerus pembangunan. Mungkin hanya secuil orang yang masih bisa mencicipi buah khas Jakarta itu.
"Kebun salak saya pun sudah nggak ada. Abis kan kakek saya punya anak banyak, bapak juga punya anak banyak (dibagikan). Ya dipecah-pecah kemakan zaman lah," lanjut Murhasyim.
Lalu, dimana lokasi kebun salak yang tersisa?
Advertisement
Di Tengah Hutan Beton
Terhimpit permukiman warga di Jalan Kayu Manis, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur, 3.500 pohon salak berdiri berjajar. Duri khas pohon berdarah palem itu mencuat menjadi pelindung buah-buah yang 'ditelurkannya'.
Kebun salak Condet seluas tiga hektare 450 meter persegi itu adalah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah naungan Sudin Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (KPKP).
Cukup sulit menemukan kebun Salak milik Pemprov DKI Jakarta itu. Tidak ada satu pun plang ataupun penunjuk jalan untuk sampai ke sana. Bagi warga luar Condet, untuk memahami petunjuk yang diberikan penduduk setempat pun rasanya sulit dicerna.
Patokan untuk menemukan kebun Salak itu ternyata jembatan yang mengarah ke Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sebelum naik ke jembatan yang sangat curam itu, ada jalan sempit ke arah kiri di samping bengkel motor dan sepeda.
Jalan yang ada hanya bisa dilewati pejalan kaki dan sepeda motor. Letaknya yang di ujung permukiman pun mempersulit pencarian alamat kebun.
Sampai di ujung jalan, ada rumah berjejer di sana. Untuk masuk kawasan kebun pun mesti jalan kaki. Kendaraan tak bisa masuk ke gang masuk menuju kebun yang terletak di RT 07 RW 05, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur itu.
Heri Prasetya selaku ketua RT 07 RW 05 mengatakan, lahan kebun salak di pinggiran Ciliwung itu sebelumnya adalah milik warga asli Condet di sana. Kemudian pada 2006, Pemprov DKI Jakarta membebaskan lahan itu sebagai upaya pelestarian dari buah khas warga Jakarta itu.
"Dulunya kan memang sebagai cagar buah, terutama salak dan dukuh Condet. Ini diambil Pemprov kurang lebih tahun 2006," tutur Hari yang juga Kordinator Pengurus Cagar Buah Condet Pemprov DKI itu saat berbincang dengan Liputan6.com di lokasi.
Â
Berdasarkan pantauan, baik salak Condet maupun dukuh di kebun itu tidak tampak berbuah.
"Ini belum berbuah. Nanti bulan Juni salaknya mungkin bisa panen. Untuk dukuh nya di bulan Maret April per 1 tahun. Tahun ini tidak berbuah karena cuaca yang kurang baik. Kemarau nya panjang sampai 8 bulan kemarin," terang bapak 2 anak itu.
Dia mengatakan, untuk mengurus kebun itu dirinya dibantu oleh 5 orang rekan kerja. Keenam orang pengurus kebun salak di sana mendapat gaji dari Pemprov DKI Jakarta senilai Upah Minimum Regional (UMR) di Ibu Kota.
"Kita dibayar 6 orang Rp 3,1 juta. Semua dibayar Pemprov melalui Sudin KPKP, Jakarta Timur," lanjut dia.
Pria yang mengaku baru bekerja di kebun selama 2 tahun itu menambahkan, dari tahun 2006-2014, kebun salak Condet masih belum dapat dikelola dengan maksimal.
"Di sini karena kan memang terbengkalai 2006-2014. 2013 Akhir itu belum ada PHL (pekerja harian lepas) dan segala macam nya. Semakin lama jadi semakin buruk dan semakin rusak kebun ini," imbuh Heri.
Namun saat ini, Heri mengaku mulai merasakan bantuan dari Pemprov DKI Jakarta. Dia pun menyampaikan, Pemprov sudah merencanakan kebun salak Condet akan menjadi tempat edukasi dan pariwisata.
"Kalau sarana dan infrastruktur sudah ada. Nanti juga mau dikasih plang penunjuk arah ke sini. Dikasih simbolnya. Ada toilet, MCK, ya segala macam tahun ini. Jadi tempat edukasi, ekowisata ke depannya. Ya pariwisata konservasi," tutur dia.
Heri pun sebagai warga asli Condet berharap, pelestarian kebun buah di sana bisa mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Khususnya untuk kebutuhan tanaman maskot DKI Jakarta itu.