Liputan6.com, Jakarta - Seperti salak Condet yang hampir punah tergerus hutan beton. Begitulah nasib benda-benda peninggalan sejarah di Condet, Jakarta Timur.
Di ujung selatan Jalan Condet Raya, sebuah kerangka bangunan bersejarah berdiri. Hanya tinggal kerangka karena kebakaran pada 1985 melahap hampir seluruh bangunan peninggalan Belanda 'Grooneveld' itu.
Kabarnya di sana, pendekar Betawi Haji Entong Gendut memimpin 30 pemuda dalam pemberontakan Condet melawan Belanda.
Kini rumah tuan tanah terbesar yang pernah dibangun di Batavia itu hanya tinggal kenangan. Tak ada lagi bangunan bersejarah sisa-sisa kejayaan Condet.
"Itu Villa Nova. Orang sini kenalnya itu Gedong Tinggi atau Gedong Ki Dekle," kata Ketua Rumpun Masyarakat Betawi (RMB), Nur Ali, kepada Liputan6.com di Batuampar, Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (13/5/2016).
"Itu ada kaitannya dengan perlawanan Haji Entong Gendut ke tuan tanah yang nindas warga Condet dibantu kompeni," sambung dia.
Menurut Nur Ali, selain kebun salak Condet yang mulai menghilang dan Gedung Tinggi, peninggalan sejarah betawi yang ada di Condet sangat sulit ditemukan, bahkan hampir tidak ada. Mungkin hanya beberapa bangunan rumah milik warga saja yang masih bergaya Betawi kuno.
"Bangunan bersejarah paling rumah warga saja, itu pun tinggal satu dua. Kalau dibilang tempat-tempat bersejarah di Condet itu hampir enggak ada," lanjut dia.
Advertisement
Baca Juga
Pada 1974, Condet sempat dijadikan sebagai pusat cagar budaya Betawi oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Namun terhambat pelaksanaannya. Dan pada 2004, Cagar Budaya Condet dicabut dan dipindahkan ke Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kegagalan itu pun disinyalir akibat adanya perubahan yang banyak terjadi dalam masyarakat Betawi Condet itu sendiri. Perubahan itu meliputi perubahan sosial, kebudayaan, dan perubahan dalam aspek kejiwaan masyarakat setempat.
Nur Ali yang merupakan tokoh masyarakat Betawi di Condet pun menyayangkan ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta dalam mempertahankan eksistensi kawasan itu sebagai kampung Betawi. Bagi dia, SK yang sudah dibuat pada masa Ali Sadikin menjabat Gubernur Jakarta disia-siakan oleh para Gubernur DKI Jakarta yang muncul setelahnya.
"Ya gagal. Kalau lihat sisi cagar budaya, bisa enggak Condet merepresentasikan dari cagar budaya? Enggak. Pemda enggak bisa berbuat apa-apa setelah SK dibentuk. Dijagain oleh Ali Sadikin. Ali Sadikin berhenti jadi gubernur, lengser. Gubernur berikutnya enggak bisa melaksanakan. Itu enggak ketahan semuanya," ketus Nur Ali.
Dalam rentang waktu itu hingga kini, Condet seakan terlupakan. Sedikit yang tahu kaitan erat kawasan seluas 13,34 km persegi itu dengan Jakarta. Sebagian bahkan hanya tahu, Condet identik dengan perkampungan Arab.
Bukan Kampung Arab
Sebutan kampung Arab itu ternyata diterima sebagai hinaan oleh warga Betawi di Condet. Seperti yang dirasakan Nur Ali, tokoh masyarakat Betawi di Condet.
Nur Ali menolak mentah-mentah sebutan Condet sebagai Kampung Arab. Bagi dia, tidak ada kampung Arab di Condet.
"Kampung Arab di sini itu enggak ada. Ane anggap itu ejekan. Mana ada Condet Kampung Arab. Dari dulu Condet itu Kampung Betawi," kata dia.
Dia menjelaskan, sebutan Kampung Arab muncul dari adanya sejumlah orang Arab yang datang dan membeli tanah di Condet. Kemudian mereka bertempat tinggal di sana dan mulai menjamur.
"Tinggal di sini ya sama aja dengan orang-orang lain. Orang Cina, Batak, beli rumah di Condet. Kampung Arab itu cerita bohong. Kalau di gang sini sana ada Arabnya ya ada. Tapi di sini juga ada Cina juga, Batak juga, Manado juga," ketus Nur Ali.
Senada dengan Nur Ali, tokoh masyarakat di Balekambang, Murhasim merasakan hal serupa. Dia cukup terusik dengan sebutan Kampung Arab di kawasan Condet.
"Saya enggak ada ngakuin itu di mana Kampung Arab. Sayangnya ya memang kami enggak bisa dipertahankan (kebun salak dan tanah). Karena ya kakek, bapak, punya banyak anak jadi dibagi-bagi (tanahnya)," terang dia.
Menurut dia, warga Condet yang mayoritas muslim, memiliki rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah Muhammad SAW. Warga pun tidak dapat menolak kedatangan orang Arab yang berniat membeli tanah maupun tempat tinggal di sana.
"Orang Condet merasa orang Arab itu ada keturunan Rasul, jadi diterima kedatangannya. Enggak taunya makin banyak yang datang. Itu ya jadinya gagal cagar budaya (di Condet) ya mungkin salah satunya itu," ujar Murhasim.
Entah kini lebih dikenal dengan Kampung Betawi atau Kampung Arab. Faktanya, sejarah Condet terus tergerus roda zaman. Tugas kita semua untuk menyelamatkannya.
Advertisement