Sukses

KPK Menyesalkan Putusan MK yang Melarang Jaksa Mengajukan PK

Jika jaksa tidak bisa mengajukan PK, bukan tak mungkin terpidana korupsi bisa bebas dengan mengajukan permohonan PK.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief buka suara terkait dengan dicabutnya hak mengajukan peninjauan kembali (PK) jaksa oleh Mahkamah Konstitusi. KPK menyebut, MK tak peka terhadap pemberantasan korupsi.

Syarief sendiri meminta hakim konstitusi peka terhadap hal itu. Sebab, jika jaksa tidak bisa mengajukan PK, bukan tak mungkin terpidana korupsi bisa bebas dengan mengajukan permohonan PK.

"Saya baca itu ada reaksi dari Jaksa Agung. Diharapkan MK itu peka terhadap pelaku korupsi," ujar Syarief di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/5/2016).

Namun demikian, dia mengaku belum membaca seluruh salinan putusan MK tersebut. Pun demikian dengan pimpinan lainnya. Sehingga, KPK belum bisa memberi komentar atau tanggapan secara resmi.

"KPK sendiri belum bisa mengeluarkan pernyataan resmi karena kami belum baca putusannya. Mudah-mudahan dalam 1-2 hari ini kami akan mengeluarkan rilis resmi dari KPK," ujar Syarief.

 

Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko S Tjandra. Anna menguji materi Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.

Dalam putusannya, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa jaksa penuntut umum (JPU) tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Hakim Konstitusi menegaskan bahwa dalam Pasal 263 ayat 1, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak termasuk jaksa.

Dengan adanya putusan tersebut, maka JPU pada KPK tidak dapat mengajukan PK ke Mahkamah Agung, jika pada tingkat kasasi, terdakwa kasus korupsi bebas dari jeratan hukum. Apalagi, PK adalah upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh dalam tahapan peradilan.