Liputan6.com, Jakarta - Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munaslub di Nusa Dua, Bali, Selasa 17 Mei kemarin. Ini dianggap sebagai akhir bahagia partai beringin setelah dilanda perpecahan akibat perebutan kursi Golkar 1 antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
Setnov akhirnya berhasil mencapai puncak tertinggi beringin, setelah pada pemungutan suara yang berlangsung Selasa dini hari, berhasil mengalahkan 7 calon ketua umum lainnya dengan memperoleh 277 suara.
Dia akhirnya bisa dengan mudah menjadi pemenang setelah rivalnya, Ade Komarudin mengundurkan diri dan menyerahkan kursi Golkar 1 kepada Setya Novanto.
Meski berakhir manis, namun perjalanan Setnov untuk memimpin Golkar bukanlah hal gampang. Banyak peristiwa yang terjadi selama munaslub, termasuk beredarnya video Setnov yang tidur sambil berdiri saat acara mengheningkan cipta.
Sosok Setya Novanto sendiri bisa disebut penuh kontroversi. Beberapa kali dia menjadi sorotan dan dikaitkan dengan sejumlah kasus. Berikut beberapa kasus yang pernah membelit mantan ketua DPR itu:Â
Baca Juga
1. Kasus PON Riau
Nama Setya Novanto terseret dalam kasus korupsi perencanaan dan pelaksanaan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau.
Bahkan, sempat beredar salinan dokumen mirip surat perintah penyidikan (sprindik) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam dokumen itu tertulis, Setya Novanto sebagai anggota DPR terjerat kasus korupsi perencanaan dan pelaksanaan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau.
Advertisement
Menanggapi hal ini, Setnov menjawab santai. "Tidak ada masalah soal sprindik, itu kan masukan. Jadi kita terima saja," jelas Setya di Gedung Parlemen, Selasa 7 Oktober 2014.
Belakangan, Wakil Ketua KPK saat itu, Bambang Widjojanto pun membantah telah mengeluarkan sprindik tersebut. "Setahu saya KPK tidak pernah keluarkan sprindik seperti itu," tegas Bambang.
Â
2. Kasus Pengadaan e-KTP
Setya Novanto juga terseret kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Hal ini diungkapkan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Proyek e-KTP pertama kali muncul sejak Muhammad Nazaruddin menjadi terpidana pada kasus suap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games, Jakabaring, Palembang. Menurut Nazaruddin, Setya Novanto selain memiliki perusahaan yang turut memenangkan tender tersebut, juga berperan memberi perintah pembagian fee pada proyek senilai Rp 6 triliun.
Namun, Novanto beberapa kali membantah keterlibatannya dalam proyek tersebut.
"Dalam soal itu saya tidak pernah tahu, dan tidak pernah ikut campur. Saya enggak tahu soal e-KTP," ujar Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 24 April 2014.
Setya Novanto juga menilai pernyataan yang pernah disampaikan Nazaruddin mengenai dirinya terlibat kasus yang telah menjerat pejabat Kemendagri, Sugiharto, ini tanpa dasar dan bukti.
"Saya rasa (Nazaruddin) bohong," kata Setya Novanto.
"Papa Minta Saham" dan Pertamina
Â
3. Kasus "Papa Minta Saham"
Saat ini Setya Novanto juga masih dibidik Kejaksaan Agung. Hal ini terkait dugaan adanya praktik tindak pidana korupsi dalam kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang diduga dilakukan mantan Ketua DPR itu di kasus perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, pihaknya tengah mendalami dugaan tersebut. "Ya kita sedang dalami. Jika ada indikasi kasus korupsi maka kita akan tindak lanjuti lebih dalam," kata Prasetyo saat dikonfirmasi, Jakarta, Rabu 17 November 2015.
Kasus ini terungkap menyusul adanya pernyataan dan aduan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), atas dugaan permintaan jatah saham dalam perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Setya Novanto mengakui telah bertemu bos Freeport, namun dia membantah meminta saham. Menurut dia, pertemuannya dengan bos perusahaan tambang itu hanya untuk mengetahui bagaimana masalah perpanjangan kontrak karya dan lainnya.
"Saya tahu kapasitasnya, memang cuma ingin tahu waktu bertemu itu. Hati-hatilah kepada saya. Hati-hati bahwa soal Freeport ini kan kepentingan jauh. Jadi, kalau saya dibilang saya minta saham itu enggak mungkin," kata Setya.
4. Intervensi Pertamina
Belum sampai 24 jam kasus "Papa Minta Saham", Setya Novanto kembali digoyang kasus baru, yaitu dugaan intervensi ke Pertamina. Beredar surat Setya Novanto kepada Direktur Utama PT Pertamina.
Surat dengan kop DPR RI itu tertanggal 17 Oktober 2015. Dalam surat itu, Setya Novanto meminta PT Pertamina membayar biaya penyimpanan bahan bakar minyak (BBM) pada PT Orbit Terminal Merak (OTM), tempat PT Pertamina menyimpan bahan bakar selama ini.
Ada sejumlah dokumen yang dilampirkan dalam surat itu. Seperti notulensi rapat negosiasi awal antara Pertamina dan PT Orbit Terminal Merah, soal penyesuaian kapasitas tangki timbun di PT Orbit Terminal Merak, surat review kerja sama pemanfaatan terminal BBM Merak, dan lainnya.
"Sesuai dengan pembicaraan terdahulu dan informasi dari bapak Hanung Budya Direktur Pemasaran dan Niaga, sekiranya kami dapat dibantu mengenai addendum perjanjian jasa penerimaan, penyimpanan, dan penyerahan Bahan Bakar Minyak di Terminal Bahan Bakar Minyak antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Orbit Terminal Merak yang sudah bapak terima beberapa minggu lalu," tulis surat tersebut.
Vice Presiden Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro mengatakan, Pertamina sudah menerima surat dari Setya Novanto tersebut.
‎"Sudah (diterima) tapi kita nggak terlalu mengurusi sih soal surat itu. Karena kita bukan dalam target mengikuti siapa yang berkirim surat kepada Pertamina," kata Wianda.
Terkait kasus ini, Setya Novanto menegaskan, surat yang beredar ditujukan kepada Direktur Utama PT Pertamina Dwie Soetjipto atas namanya itu palsu. Ini bisa terlihat dari ciri khas surat yang biasa dibuat Setya.
"Kelihatan kan kalau surat saya itu biasanya sebelah kiri semua. Ini kan di tengah. Berbeda itu," kata Setya.
Dia juga mengaku heran dengan adanya tandatangan dia di surat itu. "Surat saya ada tandatangan, saya enggak tahu siapa yang memberikan itu. Saya tidak merasa memberikan surat-surat, kop surat yang demikian," kata Setya Novanto.
Advertisement