Liputan6.com, Jakarta - Para mahasiswa Stovia, yakni R Soetomo, Mas Soeleiman, Mas Gondo Soewarno, Mas Mohamad Saleh, Mas Soeradji, dan RM Goembrek berkumpul pada 20 Mei 1908. Dilandasi kesadaran nasib yang sama suatu bangsa, mereka mendirikan Budi Utomo.
Semangat nasionalisme para mahasiswa tersebut terpantik oleh dua tokoh saat itu, Douwes Dekker dan dr Wahidin Soedirohusodo.
Ernest Douwes Dekker, yang punya nama Indonesia Danudirja Setiabudhi, adalah pelopor pergerakan nasional Indonesia. Ia pernah bekerja sebagai pengawas sebuah perusahaan perkebunan di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur.
Simpatinya terhadap rakyat kecil timbul setelah melihat penderitaan rakyat akibat kesewenang-wenangan penguasa.
Douwes Dekker lalu pindah ke sebuah perusahaan gula di Pasuruan, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan adanya pencurian air oleh tuan besar pemilik perkebunan. Setelah ibunya meninggal pada 1899, ia mendengar berita tentang Perang Boer di Afrika Selatan. Orang Boer adalah orang Belanda yang bekerja sebagai petani dan memberontak melawan kesewenang-wenangan Inggris.
Baca Juga
Pada 1903, Douwes Dekker kemudian bekerja sebagai wartawan. Ia menjadi sangat radikal dan anti-penjajahan. Ia sempat bekerja di surat kabar De Locomotief dan Surabaja Handelsblad.
Kebetulan, rumah Douwes Dekker di Jakarta dekat dengan Gedung Stovia. Saat itu ia menjabat sebagai petugas redaksi Bataviaas Nieusblad.
Triyono, penjaga museum yang sudah bekerja sejak 1987, mengatakan rumah anggota tiga serangkai pendiri Indische Partij itu ada di Jalan Ketapang, di samping museum.
Karena itulah, tidak mengherankan apabila hubungan Douwes Dekker dan para pelajar Stovia cukup dekat. Douwes Dekker merekrut banyak pemuda pelajar, seperti Soerjopranoto, Tjokrodirjo, Tjipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo serta para pemuda radikal di Stovia. Rumahnya menjadi pusat pertemuan, diskusi, dan rapat-rapat pergerakan.
Di lain pihak, pada masa sebelum 1908, di wilayah Jawa dan Madura tampak tanda-tanda pergerakan bangsa. Di Yogyakarta, ada golongan orang-orang terkemuka yang berusaha menyiapkan berdirinya studiefonds (dana pendidikan).
Salah satu pelopornya adalah dr Wahidin Soedirohoesodo, seorang dokter senior lulusan Stovia dan pensiunan guru kelahiran Mlati, Yogyakarta, 7 Januari 1852. Menariknya, dokter Wahidin bukan keturunan Jawa murni karena ia memiliki darah bangsawan Makassar.
Selain itu, dokter Wahidin juga menjadi pemimpin redaksi surat kabar Retnodhumilah. Karena upaya lewat surat kabar tak berhasil, dr Wahidin berkeliling Jawa menyampaikan pemikirannya.
Advertisement
Tenang tapi Tajam
Di penghujung tahun 1907, dalam perjalanan menuju Banten, dr Wahidin singgah di Batavia. Soetomo dan Soeradji bertemu untuk mendengarkan gagasan-gagasannya. Mereka tergugah oleh semangat tokoh pergerakan ini. Dalam memoarnya, seperti dikutip dari Soetomo 1934: Kenang-kenangan (Van der Veur, Paul W.1984: 165-167), Soetomo menuliskan:
"Yang membikin saya terkejut dan tertarik ialah perangai dan pikiran dokter tua ini. Ia mampu memusatkan kegiatannya dan mengatasi rintangan yang terus-menerus menghalangi cita-citanya…
Saya berhadapan dengan dokter Soedirohoesodo, yang berwajah tenang tapi tajam, dan kepandaiannya mengutarakan pikirannya sangat berkesan pada saya. Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliputi jiwa saya yang terluka dan sakit…
Berbicara dengan dokter Wahidin merupakan pengalaman yang sangat mengharukan, dengan mudah orang akan tahu tentang luhurnya semangat pengabdian dokter ini…
Dokter Wahidin benar sungguh benar kalau orang mengatakan bahwa kamulah yang menjadi pelopor pergerakan kita.
Dr Wahidin Soedirohusodo dikenang kepeloporannya oleh pelajar-pelajar Stovia sebagai pendorong lahirnya organisasi Budi Utomo.