Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan tegas membantah adanya barter antara dia dan pengembang mega proyek reklamasi Jakarta, Agung Podomoro Land (APL).
Menurut ahok, anggaran yang dikeluarkan APL untuk penggusuran Kalijodo adalah kewajiban kontribusi tambahan proyek reklamasi, sehingga kata 'barter' dianggap Ahok sebagai fitnah.
Menurut Ahok, dana Coorporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dengan kontribusi tambahan berbeda.
Ahok menjelaskan, dana CSR adalah bantuan sosial suatu perusahaan. Nilai dana tersebut sebesar tiga persen dari keuntungan perusahaan.
"Setiap perusahaan wajib memberikan CSR kepada masyarakat atau sekitarnya, yang berhubungan kepada umum dengan rela," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (20/5/2016).
CSR, lanjut Ahok, berlandaskan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
Sedangkan kontribusi tambahan sebesar 15 persen, kata Ahok, adalah nilai yang sengaja dibebankan kepada para pengembang reklamasi.
Baca Juga
Asal nilai 15 persen, lanjut dia, karena pada 1997 ada kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tambahan kontribusi tidak disebutkan angka pasti alias mengambang.
"Di sana ngambang, cuma disebut kontribusi," pungkas pria berkacamata itu.
Kontribusi Tambahan
Nilai kontribusi tambahan didapat dari 15 persen dikalikan dengan nilai jual objek pajak (NJOB) dan saleable area.
Kontribusi tambahan yang bernilai triliunan rupiah itu, Ahok gunakan untuk membangun infrastruktur seperti rumah susun, inspeksi, perbaikan jalan, dan normalisasi sungai.
Karena pendapatan triliunan rupiah dari kontribusi tambahan itu, Ahok menegaskan, tidak mungkin dia bersedia barter Rp 300 miliar.
Selain tidak terima kata 'barter', Ahok juga geram saat dia dipermasalahkan terkait landasan hukum, ketika dia membuat perjanjian kontribusi tambahan.
Menurut Ahok, kontribusi tambahan dilakukan melalui perjanjian kerja sama (PKS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengeluarkan diskresi.