Liputan6.com, Jakarta - Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol Arwani Thomafi menanggapi langkah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang akan membatalkan sejumlah peraturan daerah (Perda) pelarangan atau pengaturan minuman keras (miras) di sejumlah daerah.
Menurut Arwani, alasan suatu perda dapat dibatalkan kecuali bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Yang lebih tinggi adalah karena bertentangan dengan kepentingan umum dan atau kesusilaan.
"Artinya, dalam kasus perda miras justru dasar pemda melakukan pelarangan adalah demi kepentingan umum, yaitu akibat buruk dari konsumsi miras yang menimbulkan korban jiwa dan perilaku kriminalitas," kata Arwani dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/5/2016).
"Seperti pemerkosaan dan kejahatan lainnya yang mengganggu ketertiban umum dan melanggar kesusilaan," dia menambahkan.
Semestinya, menurut Arwani, Mendagri mempertimbangkan dasar pemda melarang miras sangat kuat, sesuai dengan konteks sosiologis di daerah.
"Sangat tidak beralasan jika demi kepentingan investasi, justru kepentingan masyarakat umum, yaitu mencegah bahaya buruk dan jatuhnya korban jiwa akibat miras justru diabaikan," papar dia.
"Apabila alasan yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi, semestinya Mendagri menyadari dan bersikap arif, dengan menunggu selesainya pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini masih dibahas di DPR," ujar anggota Komisi II DPR ini.
Tiga Pandangan
Karena itu, Wakil Ketua Umum DPP PPP ini berharap agar Mendagri tidak membatalkan atau menyelaraskan perda miras, dan menunggu hasil pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang memang saat ini sedang dibahas DPR.
"Saat ini, Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol memasuki pembahasan di tingkat panitia kerja (Panja). Ada tiga pandangan yang berkembang di pansus selama ini," kata Arwani.
Pertama, lanjut Arwani, pendapat yang mendorong RUU Larangan Minuman Beralkohol ini memiliki semangat melarang minuman beralkohol tanpa pengecualian alias melarang total.
Advertisement
Baca Juga
Kedua, mereka yang mendorong agar RUU ini berisi larangan minuman beralkohol, namun dengan pengecualian. Fakta bahwa ada kelompok tertentu yang masih bersahabat dengan alkohol diakomodasi dengan kata pengecualian.
"Misalnya ritual keagamaan dan kepentingan pariwisata secara terbatas. Kelompok yang kedua ini seperti yang ada dalam draf RUU usulan DPR," kata dia.
Ketiga, adalah kelompok yang mendorong membolehkan minuman berakohol namun dengan pengecualian. Minuman beralkohol tidak perlu dilarang, hanya perlu dilakukan pengendalian atau pengaturan saja.
"Pemikiran ini paradoks dengan kelompok yang kedua yaitu melarang dengan pengecualian, kelompok ini sebaliknya, membolehkan dengan pengecualian," kata Arwani.
Penghapusan Perda
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri akan mencabut 3.266 peraturan daerah yang dianggap menghambat investasi dan pembangunan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengakui di antara perda tersebut, ada perda berisi pelarangan terhadap minuman beralkohol. Kendati, Tjahjo menampik pencabutan perda-perda itu bukan berarti pemerintah mendukung peredaran minuman beralkohol.
"(Perda) yang saya cabut itu karena mereka (pemerintah daerah) menyusun perdanya bertentangan dengan peraturan dan perundangan," kata Tjahjo, Jumat 20 Mei 2016.
Perda pelarangan miras yang akan dicabut antara lain di Papua, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.‎ Peraturan yang dimaksud, yakni Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A.