Liputan6.com, Jakarta - Sosok Yusril Ihza Mahendra dikenal sebagai penulis naskah pidato yang memuluskan langkah Soeharto mundur dari jabatannya, Presiden ke-2 RI, pada 21 Mei 1998.
Setelah 18 tahun peristiwa itu berlalu, Yusril mengungkapkan sepenggal kisah yang terjadi setelah Soeharto lengser.
"Saya bertanggung jawab bahwa cara berhenti Pak Harto itu sah dan konstitusional. Setelah itu, ada 100 pengacara yang menamakan dirinya Pengacara Reformasi menggugat saya," kata Yusril kepada Liputan6.com, di kantornya, Jakarta, Senin, 23 Mei 2016.
Pengacara Reformasi itu menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menilai cara berhenti Pak Harto tidak sah.
Yusril pun tidak mau banyak berdebat. Ia melayani 100 pengacara itu di meja hijau. Singkat cerita, Ketua Umum Partai Bulan dan Bintang (PBB) itu menang.
Baca Juga
"Jawab saya gini saja, kalau berhenti tidak sah Pak Harto masih presiden dong. Anda ini maunya apa? Di satu pihak, mau Pak Harto cepat-cepat berhenti," tutur dia.
"Kalau dibilang tidak sah, Pak Harto masih presiden dan bisa tangkap Anda semua ini. Kadang-kadang logika orang itu seperti suka tidak jalan," kata Yusril.
Jawaban Yusril itu membuat para penggugat terdiam. Mereka pun menerima keputusan pengadilan yang menetapkan cara berhenti Soeharto sah dan konstitusional. Langkah untuk banding pun tidak dilakukan sama sekali.
"Pengadilan menguji dan memutuskan apa yang dilakukan itu sah dan konstitusional. Mereka tidak banding atau kasasi," tandas Yusril.
Malam sebelum Soeharto menyatakan mundur, Yusril Ihza Mahendra menginap di kediaman Presiden ke-2 RI itu, di Cendana. Dia ditugaskan menulis naskah pidato pengunduran diri Soeharto yang dibacakan keesokan harinya, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka.