Liputan6.com, Bandung - Universitas Padjadjaran (Unpad) menganugerahi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri gelar Doktor Honoris Causa bidang politik dan pemerintah. Ada sejumlah pertimbangan sebelum Unpad memberikan gelar tersebut.
Ketua Tim Promotor Prof Dr H Obsatar Sinaga Msi mengatakan perilaku, ide dan gagasan Megawati yang paling dikenang adalah saat Pemilu 1999.
Saat itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memenangkan pertarungan tersebut. Namun, MPR yang kala itu dipimpin oleh tokoh reformasi Amien Rais justru memilih Abdurrahman Wahid yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa. Megawati hanya menjadi Wakil Presiden.
Massa PDIP merasa dicurangi dan marah. Namun, Megawati berusaha menenangkan massanya saat berdiri di podium MPR.
"Untuk menenangkan massa, Megawati mengeluarkan sambutan yang cukup hikmah," ujar Obsatar di Unpad Dipati Ukur, Bandung, Selasa (25/5/2016).
"Kepada anak-anakku di seluruh Tanah Air, saya minta untuk bekerja kembali dengan tulus. Jangan melakukan hal-hal yang bersifat emosional, karena dalam mimbar ini, kamu melihat ibumu berdiri di sini," lanjut Obsatar sambil menirukan gaya berbicara Megawati.
Selain itu, langkah Megawati yang perlu diapresiasi tercermin saat penyerangan kantor DPP PDIP.
"Saat penyerangan kantor DPP PDIP, Megawati harus mengambil keputusan cepat saat rapat dengan pendukungnya. Kalkulasi Mega atas korban yang jatuh dan pendidikan politik, akhirnya Megawati menempuh jalur hukum," kata Obsatar.
Ketika itu, Mega mengatakan, "Mosok di antara ribuan hakim tidak ada satu orang yang memiliki hati nurani," ucap Obsatar kembali menirukan Presiden Kelima RI.
Lalu, kepercayaan Megawati terjawab. Seorang hakim bermarga Tobing memenangkan gugatan Mega.
Megawati juga berjasa dalam membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kebijakan ini, lanjut Obsatar, mengembalikan kepercayaan masyarakat saat pergantian kepemimpinan dari Gus Dur ke Mega.
Saat dokumenter perjalanan politik dan pemerintahan Mega ditayangkan, juga muncul petikan ucapan Mega sebagai pembukanya.
Baca Juga
"...Kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat..."
Advertisement