Sukses

Ketika Angkutan Umum Jadi Barang Mewah

Cat sudah terkelupas di beberapa badan mobil, meninggalkan 'luka' menganga dan karat.

Liputan6.com, Kapuas Hulu - Sebagian orang di Jakarta mengeluhkan bobroknya angkutan umum, seperti mikrolet dan Metro Mini. Bukan hanya pelayanan, perilaku ugal-ugalan sang sopir dan kurang standarnya armada angkutan umum menjadi catatan bagi warga Ibu Kota.

Namun, ada sebagian masyarakat di Tanah Air yang kurang beruntung dibanding masalah angkutan umum di Jakarta.

Seperti pengalaman Liputan6.com saat berkesempatan berkunjung ke Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Sabtu 28 Mei 2016.

Tempat ini merupakan ibu kota dari Kapuas Hulu. Daerah paling ujung di sungai Kapuas dan memiliki fungsi sebagai pintu air kali terpanjang di Indonesia itu.

Nah, di kecamatan ini ada sebuah angkutan desa yang bertarif relatif mahal, jika dibandingkan dengan angkutan umum di Jakarta.

(Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Sekali tempuh Patussibau-Naraun, penumpang harus membayar Rp 50 ribu. Memang, perjalanan ke dua tempat itu harus ditempuh sekitar dua jam. Sama dengan perjalanan Senayan City, Jakarta Pusat ke Depok, Jawa Barat tanpa lewat tol.

Lalu, bagaimana pelayanannya? Tidak jauh beda dengan angkutan umum di Jakarta. Mereka bisa berhenti di sembarang tempat, untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.

Bedanya, Jakarta punya halte, Patussibau tidak. Tidak ada sapaan dan petugas yang mengingatkan untuk mengecek barang, sebelum meninggalkan kendaraan.

Apakah wujud fisiknya lebih baik dari angkutan umum di Jakarta? Hmmm.... Menurut pengakuan sang sopir, mobil minibus Mitsubishi miliknya itu sudah beroperasi sejak 1995.


21 Tahun, usia 'jompo' bagi sebuah mobil. Ini terlihat dari badan angkutan umum itu. Cat sudah terkelupas di beberapa badan mobil, meninggalkan 'luka' menganga dan karat. Tali tambang tak beraturan menggelantung dari atap kendaraan.

Jelas, pendingin ruang pun tak ada. Hanya jendela-jendela yang menghantarkan sapuan angin ke dalam sebagai penggantinya. Malah, beberapa kaca jendela pun sudah hilang.

Alhasil, terkadang kepulan asap putih angkutan tersebut masuk ke dalam kendaraan, menjadi aroma 'penyedap' sepanjang perjalanan penumpang.

(Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Soal kenyamanan tempat duduk, penumpang jangan berharap banyak. Busa kursinya berbanding lurus dengan usia mobil tersebut.

Bagi beberapa penumpang bahkan harus mengangkat kakinya ketika duduk. Sebab, sang sopir menaruh ban cadangan di bawah jok hingga mengganggu pijakan kaki para penumpang.

Menariknya lagi, Liputan6.com tak melihat ada pelat nomor di angkutan pedesaan ini. Sedangkan, kondisi angkutan desa yang lain di wilayah ini pun tak jauh berbeda.

"Di sini tidak ada kayak gitu, tilang-tilangan. Tapi saya punya surat-surat lengkap," ujar sopir angkutan desa tersebut.

Sementara, di Jakarta, warganya hanya membayar Rp 3.500 untuk naik bus Transjakarta, dengan layanan dan fasilitas prima.