Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi rampung menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka kasus dua gaan suap pembahasan raperda reklamasi teluk Jakarta.
Kelar diperiksa, Sanusi mengatakan tidak ada hal yang harus diungkap ke publik, terkait kasus dugaan suap reklamasi Jakarta. Sebab, dia sudah buka-bukaan dengan penyidik KPK.
"Memang tidak ada yang harus diungkap. Semuanya sudah saya buka sama KPK," ujar Sanusi, yang mengenakan rompi tahanan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (30/5/2016).
Sanusi membantah mengetahui dugaan barter kontribusi tambahan, antara Pemerintah Provinsi DKI dan pengembang. Tapi, secara prosedur barter itu diduga melanggar, karena disebut-sebut sebagai uang muka pembayaran kontribusi tambahan dari pengembang kepada Pemprov DKI.
"Saya tidak tahu soal barter. Secara prosedur harusnya raperda jadi dulu yah (baru bayar kontribusi tambahan)," kata dia.
Pengembangan hasil penyidikan KPK dalam kasus dugaan suap raperda reklamasi teluk Jakarta, ditemukan indikasi ada pihak lain yang turut menerima dugaan suap dari para pengembang. Temuan itu yang menjadi fokus KPK saat ini.
Kendati, KPK enggan berspekulasi apakah pihak-pihak lain itu dari DPRD DKI atau dari Pemprov DKI. Yang jelas, dalam menyelisik indikasi suap itu, KPK mencari fakta-fakta terlebih dulu.
Baca Juga
KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, kasus dugaan suap pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) Provinsi Jakarta dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja, dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro.
Sanusi diduga menerima suap Rp 2 miliar dari PT APL, terkait pembahasan Raperda RWZP3K dan Raperda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI. Kedua raperda itu sudah tiga kali ditunda pembahasannya di tingkat rapat paripurna.
Selaku penerima suap, Sanusi dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Sedangkan Ariesman dan Trinanda selaku penyuap dikenakan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.