Sukses

Hidup dalam Batas Terang di Lanjak Kalbar

Bagi warga, listrik merupakan kemewahan. Namun, warga yang hidup di Sungai Leboyan ini menganggapnya hal biasa hidup tanpa listrik.

Liputan6.com, Kapuas Hulu - Jam menunjukkan waktu pukul 17.00 WIB. Saat itu pula, lampu di Losmen Gandaria Inn menyala. Sebagai pendatang, Liputan6.com terheran-heran, ada apa gerangan?

Sang pemilik losmen mengatakan hal itu sudah biasa di Lanjak, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Terangnya lampu saja, menjadi barang mahal di desa ini. 

Ya, di Lanjak, listrik dari genset milik PLN baru menyala pukul 17.00 WIB dan padam pukul 06.00 WIB. Di luar jam itu, warga hanya bisa mengandalkan cahaya temaram matahari, yang masuk melalui celah kecil di rumah mereka.

"Kulkas, televisi, dan pompa air nyala ya cuma di jam itu. (Pukul) lainnya mati," ujar pemilik losmen, Senin 30 Mei 2016.

Namun, dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, dulu, dia pernah hidup tanpa listrik. Begitu juga dengan warga yang lain.

Camat Batang Lupar Gunawam mengatakan, dari 10 desa di kecamatan itu, hanya rumah yang berada di pinggir jalan yang teraliri listrik PLN. Rumah yang jauh dari jalan, harus hidup dalam gelap.

Saat Liputan6.com dan rombongan WWF menelusurinya, benar. Bangunan yang tidak berada di pinggir jalan, gelap. Termasuk Kantor Kecamatan Batang Lupar.

Padahal, wilayah ini memiliki potensi menghasilkan listrik secara mandiri. Ada sejumlah sungai yang bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin, untuk menghasilkan listrik.

"Tapi belum semuanya dimanfaatkan dengan baik. Kami berencana mengajukan ke pemda, karena kami punya airnya. Misal, di Sungai Luar dan Sungai Iring. Di Sungai Luar kita sudah bisa nyala 24 jam. Kalau yang di Sungai Iring belum mikro hidronya, karena dana kurang," Gunawan memaparkan.

Kondisi yang sama saat Liputan6.com mengunjungi Dusun Meliau, Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Listrik di dusun ini hanya menyala pukul 18.00 hinnga 23.00 WIB. Itu pun warga mengandalkan mesin disel.

Mereka harus urun uang untuk membeli solar. Ketika bahan bakar disel yang dibeli banyak, listrik menyala lebih lama. Begitu pula sebaliknya.

Sementara, sekelompok warga yang berada di rumah panjang atau Betang, destinasi ekowisata di dusun ini, terbantu dengan adanya solar cell dari World Wide Fund for Nature (WWF) Singapura. Itu pun digunakan untuk penerangan pada malam hari.

Karena itu, bagi mereka, listrik merupakan kemewahan. Namun, warga yang hidup di Sungai Leboyan ini menganggapnya hal biasa hidup tanpa listrik.

"Hidup di air itu memang lebih mahal," ujar Sudik Asmoro, penghuni rumah Betang, yang berharap PLN dapat masuk ke dusun yang berada di atas air itu.

Video Terkini