Sukses

Tikung Madu Pembawa Untung

Tak tanggung-tanggung, sekali musim panen, masyarakat di Semangit mampu membeli speedboat 15 pk seharga Rp 28 juta.

Liputan6.com, Kapuas Hulu - Ikan tak lagi menjadi satu-satunya tumpuan hidup masyarakat Dusun Batu Rawan, Desa Semangit, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sebuah hasil alam yang berkhasiat bagi kesehatan, mampu menyambung penghidupan warga. 

Hasil alam itu adalah madu hutan. Si manis ini menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat, ketika jumlah tangkapan ikan di kompleks Danau Sentarum menurun pada September hingga Maret, atau saat air pasang. 

Tak tanggung-tanggung, sekali musim panen, masyarakat di Semangit mampu membeli speedboat 15 pk seharga Rp 28 juta.

Ya, madu di dusun ini memang tidak biasa. Ada sebuah penelitian dari Jaringan Madu Indonesia mengungkap, madu di sini berkhasiat untuk antipenuaan.

Salah satu pohon yang telah dipasangi tikung, ditandai dengan nama sang pemasang ranting buatan itu. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Penduduknya menggunakan cara-cara ramah lingkungan dalam tiap proses produksi madu ini.
Mulai dari cara 'pemancingan' lebah hutan. Masyarakat di Semangit menggunakan tikung buatan, yang berasal dari papan kayu. Tikung adalah tangkai buatan yang dipasang di pohon.

"Saat itu WWF (World Wide Fund for Nature) mengirim perwakilan dari kami untuk belajar ke Vietnam soal tikung ini," ujar Ketua Asosiasi Periau Semangit Danau Sentarum (APDS), Basri Wadi, saat Liputan6.com dan rombongan berkunjung ke Semangit, Minggu 29 Mei 2016.

Kabar soal tikung ini menyebar dengan cepat. Beberapa asosiasi periau atau kelompok tradisional petani madu lainnya pun meminta mereka membagi ilmu.

Konsep green economy juga mereka terapkan pada proses pemanenan. Saat memanen, warga tidak mengambil seluruh bagian sarang. Mereka menyisakan tiga sentimeter sarang lebah, yang merupakan tempat anak-anak tawon berada.

"Sebab biar ada regenerasi. Nanti kan jadi lebah lagi dan bisa menghasilkan madu kembali untuk kita," kata Basri.

Inilah tebauk yang digunakan untuk mengusir lebah sebelum panen madu. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Selain itu, pemanenan dilakukan pada siang hari dan menggunakan tebauk. Pemanenan dilakukan pada siang hari agar lebah kabur ke atas pohon. Kalau dilakukan malam hari, lebah akan kabur ke bagian bawah pohon. Hal ini menyebabkan tawon mudah mati.

Lalu, untuk mengusir lebah, petani madu membakar tebauk. Tebauk ini merupakan akar kayu yang dikeringkan dan diikat dengan rotan. Akar kayu menyadin dan jabai merupakan bahan bakunya. Tebauk mampu menghasilkan asap tanpa mengeluarkan api usai dibakar. Asapnya tidak berbahaya bagi lebah.

"Kalau berbahaya dan lebah mati. Nanti tidak ada lebah yang mau hinggap lagi. Kita pengennya kan berkelanjutan. Jadi kita memakai sistem panen lestari," ucap Basri.

Usai dipanen, madu diekstrak dengan cara meneteskan madu dari sarangnya menggunakan saringan halus. Mereka tidak memerasnya agar kotoran dari sarang dan keringat petani tak mencemari madu.

"Ini untuk memperoleh madu berkualitas tinggi. Kami juga melengkapi teknik ini dengan serangkaian standar prosedur seperti penggunaan sarung tangan karet, wadah pengangkut tertutup, dan penggunaan saringan serta pisau stainless," kata Bagian Pengolahan dan Pemasaran APDS, Abang Muhammad Erwanto.

Hasil Maksimal

Produk madu APDS. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Tak sampai pada panen, petani madu di APDS juga menjaga kualitas madu dengan mengurangi kadar airnya. Sesuai standar Indonesia, kadar air dalam madu harus kurang dari 21 persen.

Berkat pengurangan kadar air tersebut, harga madu APDS melonjak tinggi. Pada 2005, harga madu di Semangit labil. Bisa jadi hari ini terjual dengan harga Rp 20 ribu per kilogram, namun besok turun menjadi Rp 10 ribu per kilogram.

"Saat itu kualitas tidak diperhatikan. Lalu setelah mendapat pendampingan dari sejumlah pihak, salah satunya WWF, kualitas mulai diperbaiki. Kami dan WWF menjalin kerja sama. Kami dipinjami modal dengan syarat ada peningkatan mutu, kelestarian hutan dan menjaga orangutan," Basri Wadi menjelaskan.


Setelah ada peningkatan mutu, harga madu menjadi Rp 100 ribu per kilogram. Setelah diolah dan dikemas, harganya kembali bertambah menjadi Rp 75 ribu-Rp 100 ribu per 300 gram.

Ketua APDS Basri Wadi menunjukkan salah satu produk madu. Madu produksi APDS terbukti ampuh untuk antipenuaan. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Kini, setiap anggota koperasi APDS, memiliki ratusan hingga 1.000 tikung. Basri sendiri pernah mencapai rekor panen 1,8 ton pada musim panen Desember-Februari 2013. Saat itu, harga madu masih Rp 80 ribu per kilogram.

"Madu itu memberi kami uang banyak secara mendadak. Walau pun 70 persen penghasilan masih dari mencari ikan," sebut pria 41 tahun tersebut.

Dari dan Untuk Alam

Wasir, petani madu di Semangit ini sadar tidak akan bisa memanen banyak madu, ketika tak ada bunga. Karena itu, dia bertekad agar tidak merusak alam dan 'rakus' ketika mengambil hasil dari alam, termasuk madu.

"Kalau bunga cukup, panennya bisa 500 kilogram. Saya punya 350 tikung. Kemarin ada kebakaran, jadi cuma panen 100 kilogram. Apalagi kalau tidak dijaga," ujar pria 63 tahun itu.

Karena itu, APDS dibantu sejumlah lembaga menanam 1.000 bibit pohon di kawasan Danau Sentarum. Bibit yang ditanam tidak hanya tanaman khas daerah itu, ada juga jenis lain.

Wasir, warga Dusun Batu Rawan, Desa Semangit, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tidak lagi hanya menggantungkan penghasilan hasil tangkapan ikan. (Liputan6.com/Rita Ayuningiyas)

"Ini untuk pengayaan jenis tanaman di wilayah tersebut," ujar Ecotourism Development Officer WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat
Hermas Rintik Maring.

Sementara itu, konsep green economy diperkenalkan kepada masyarakat Dusun Batu Rawan, karena pentingnya kelestarian alam bukan hanya untuk satwa atau flora. Manusia pun akan terdampak ketika alam rusak.

"Kita pun dorong ke pemanfaatan sumber daya alam agar tetap lestari. Masyarakat akan terus mendapatkan hasil dan berkelanjutan dengan sistem ini," kata Technical Supporting Unit Leader WWF Indonesia Program Kalimantan Barat Jimmy Syahir Syah.

Â