Sukses

Inggit Garnasih dan Kisah Sukarno dengan Gadis Belanda

Sesungguhnya Sukarno adalah seorang pecinta. Jauh sebelum menjadi suami Utari dan Inggit, ia tertarik dengan gadis-gadis Belanda.

Liputan6.com, Jakarta - Malam sudah lama turun. Bandung semakin sunyi dan dingin. Namun di dalam rumah besar itu, lampu masih menyala. Pemuda gagah itu mendekat dan semakin mendekat.

"Aku mencintaimu," bisiknya lembut ke wanita yang ada di dekatnya. Wanita yang usianya belasan tahun lebih tua dari pemuda itu tidak menjawab. Ia hanya menahan napas, menahan perasaan yang sama. Tak banyak kata-kata.

Sadar apa yang telah terjadi nyonya rumah bernama Inggit Garnasih  itu melepaskan diri dari Sukarno. Ia menyibukkan diri dan melihat wajah ketidakpuasan pemuda itu.

Di suatu malam peristiwa itu kembali terulang. Kali ini, sang pemuda itu tidak hanya menyatakan cinta, tapi juga mengajukan untuk melamar Inggit.

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno mengungkapkan, malam itu ia mendapat jawaban sempurna. Inggit membalas cintanya.

"Apakah kita tidak menghadapi kesulitan?" tanya Sukarno.

"Tidak, aku akan bicara dengan Sanusi besok," jawab Inggit. 

Sanusi atau Haji Sanusi adalah suami Inggit. Ia seorang saudagar dan juga aktivis Sarekat Islam (SI) di Bandung. Antara Inggit dan suaminya, usia mereka jauh berbeda.

Sukarno tinggal di rumah pasangan Sanusi dan Inggit di Jalan Kebon Jati Bandung, saat menempuh pendidikan teknik tinggi Bandung (sekarang ITB).

Pada buku yang ditulis Cindy Adams itu, Sukarno mengaku sejak pertama tiba di rumah itu, sudah merasa menemukan keberuntungan.

"Keberuntungan utama itu sedang berdiri di pintu masuk dalam suasana setengah gelap dibingkai lingkaran cahaya dari belakang. Dia memiliki bentuk tubuh yang kecil, dengan sekuntum bunga merah menyolok di sanggulnya dan sebuah senyuman yang mempesona," ungkap Sukarno.

Soekarno saat di Bengkulu.

Sukarno yang saat itu masih 21 tahun, sebenarnya bukan seorang bujangan. Dia sudah menjadi suami Utari, putri sulung pemimpin Sarekat Islam di Surabaya, HOS Tjokroaminoto.

Sukarno dan Utari sempat tinggal di rumah Inggit, namun belakangan Utari yang masih berusia 16 tahun dikembalikan ke Surabaya lantaran keduanya tidak menjalankan lakon layaknya suami istri. Baik Sukarno maupun Utari menganggap hubungan mereka tak lebih dari sekadar kakak dan adik.

Sementara dalam diri Inggit, Sukarno menemukan hal-hal yang diimpikannya dari seorang istri, yakni bisa menjadi ibu, kekasih, dan teman.

"Aku ingin teman hidupku bertindak sebagai ibuku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijatnya. Kalau aku lapar, aku ingin menyantap makanan yang dia masak sendiri. Kalau bajuku koyak, aku ingin isteriku menambalnya," kata Sukarno.
 
Seperti telah ditakdirkan, Sukarno dan Inggit pun meresmikan hubungan mereka tanpa ada aral melintang dan tanpa ada yang tersakiti. Keduanya menikah di rumah orangtua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.

"Kusno (Sukarno) mengatakan, keluarganya tak pernah mencela ketika ia berpindah dari istrinya yang masih tetap memiliki kegadisannya, Utari, ke istri lain yang selusin tahun lebih tua darinya," ujar Inggit.

Sesuai harapan Sukarno, Inggit menjadi istri, sekaligus ibu dan temannya. Inggit mencintai Sukarno sepenuh hati, mendukung, dan mendorongnya menuju cita-citanya lulus sekolah tinggi dan menjadi pemimpin rakyat.

"Ia (Sukarno) memerlukan hati yang lembut dan dorongan yang besar dan mulia, terutama yang keluar dari hati seorang wanita. Itu semua aku camkan dalam hati," ungkap Inggit dalam Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno yang ditulis Ramadhan KH.

2 dari 2 halaman

Pacar Pertama

Sesungguhnya Sukarno adalah seorang pecinta. Jauh sebelum menjadi suami Utari dan Inggit, saat ia mulai tumbuh dewasa, ia sangat tertarik dengan gadis-gadis Belanda. Pacar pertamanya adalah Pauline Gobee, anak seorang guru. Kemudian ada Laura, lalu ada lagi gadis keturunan Indo-Belanda dari keluarga Raat, dan kemudian Mien Hessels.

Saat masih berusia 18 tahun, Sukarno memberanikan diri datang ke rumah Mien Hessels untuk menemui gadis Belanda berambut kuning dan berpipi merah muda itu.

Namun bukannya mendapat sambutan, saat tiba di rumah gadis Belanda berambut ikal dan berkulit lembut tersebut, sang ayah malah meludah dan menghina Sukarno dengan menyebutnya Inlander kotor.  

Tapi hinaan itu tak lantas membuat sifat pecinta Sukarno luntur. Dalam masa pembuangan di Bengkulu, ia bertemu gadis cantik asli Indonesia, Fatmawati.

Fatmawati merupakan teman anak angkat Sukarno, Ratna Djuami, dan pernah tinggal di rumah Sukarno dan Inggit di Bengkulu.

Belakangan, setelah usia Inggit lebih dari 50 tahun, sementara Sukarno masih 40 tahun, Sukarno jatuh cinta padanya dan ingin menikahi Fatmawati untuk mendapatkan keturunan.

Pernikahan antara Sukarno dan Fatmawati pun terjadi beberapa saat sebelum Indonesia merdeka dan setelah Bung Karno bercerai dengan Inggit.

Dari Fatmawati lah kemudian Sukarno mempunyai anak: Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Pernikahan ini ternyata bukan yang terakhir. Saat Sukarno sudah lama menjadi Presiden dan dalam usia yang tidak muda lagi, ia menikah dengan sejumlah wanita. Tercatat ada enam perempuan yang telah dinikahi Bung Karno setelah berpisah dengan Fatmawati. Mereka adalah Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar.
Â