Liputan6.com, Jakarta Kopi di gelas kaca Uce Abidin belum habis diseruput ketika nada dering berbunyi dari telepon seluler pintarnya. Pria paruh baya asal Cianjur tersebut memasangkan sendal kulit ke kaki yang sedari tadi digunakan sebagai alas duduknya. Dia duduk di bangku kemudi mobil SUV produksi 2013 lalu memacu kendaraannya menuju Menara Kuningan, Jakarta Selatan. Di luar, semburat merah menyeruak dari ufuk barat Jakarta.
Kemacetan Ibu Kota setelah jam pulang kerja tidak menyurutkan semangat Uce untuk menyambangi Sinta. Sinta merupakan pelanggan yang memesan taksi online melalui aplikasi Grab. Aplikasi Grab Driver di ponsel pintar Uce menunjukkan Sinta minta diantarkan dari Kuningan menuju Kelapa Gading di Jakarta Utara.
Advertisement
Uce merupakan sopir taksi yang bekerja sama dengan PT Grab Indonesia. Untuk menjadi sopir taksi online, dia harus menyewa mobil dari perusahaan rental seharga Rp 125 ribu per hari. Pria asal Cianjur, Jawa Barat, itu juga harus memiliki ponsel pintar yang telah dipasangi aplikasi Grab. Grab juga meminta sopir mendepositkan uang sebesar Rp 200-500 ribu sebagai jaminan. Ditambah kelengkapan administrasi berupa surat izin mengemudi dan STNK, dia bisa menangguk penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. "Pendapatan bersih seminggu rata-rata Rp 1,5 juta," ujarnya ketika ditemui di kawasan Rasuna Episentrum, Jakarta Selatan, Rabu (25/05/2016).
Uce bercerita, penghasilan yang diperolehnya saat ini menurun drastis dibandingkan beberapa bulan lalu yang biasanya sebesar Rp 4 juta per minggu. Penyebabnya perusahaan taksi mulai memangkas bonus yang diterima sopir. Selain itu, bertambahnya jumlah unit taksi membuat persaingan memperebutkan kue bisnis taksi online semakin ketat.
Permasalahan internal tak melulu menjadi persoalan taksi online. Pada Mei lalu, sopir-sopir taksi konvensional menggelar demonstrasi yang melumpuhkan jalanan Ibu Kota. Dalam tuntutannya, sopir-sopir taksi konvensional meminta penyelenggara taksi online menghentikan usahanya lantaran dianggap ilegal.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan merespons persoalan itu dengan menghentikan penambahan jumlah taksi online. Pada 1 Juni, Jonan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Aturan tersebut memaksa perusahaan aplikasi taksi online wajib terdaftar sebagai badan hukum seperti perseroan terbatas atau koperasi. Perusahaan aplikasi taksi online juga harus memiliki setidaknya lima kendaraan yang telah lulus uji berkala, memiliki pul, dan bengkel.
"Kalau ada pelanggaran, nanti kita surati. Jika tiga kali tetap melanggar, kami cabut izin usahanya. Nanti Menteri Komunikasi dan Informatika akan blokir situsnya," ujar Jonan saat konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta Pusat, Rabu (1/6/2016).
Managing Director PT Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menilai penerbitan Permenhub Angkutan Umum Tidak dalam Trayek sebagai babak baru bagi bisnis taksi online. Menurut dia, aturan tersebut membuktikan pemerintah mengikuti perkembangan teknologi. Sopir taksi online, katanya, nantinya akan diarahkan untuk berada di bawah koperasi. "Kami akan menjadi operator agar pengemudi menggunakan teknologi untuk meningkatkan produktivitas," katanya.
Ihwal kewajiban memiliki pul, Ridzki menyebut ketentuan itu masih fleksibel. Menurut dia badan usaha yang menaungi taksi online tidak perlu memiliki lapangan luas untuk dijadikan pul. Menurut dia, garasi milik pribadi bisa dipakai menjadi pul taksi online.
Direktur Operasional BlueBird, Andrianto Djokosoetono, mengakui taksi online sebagai kompetitor baru. Namun, dia meyakini kompetisi ditentukan oleh kualitas pelayanan terhadap pengguna. Menurut dia, pelayanan perusahaannya sudah terbukti memuaskan pengguna selama 44 tahun. "Kami masih tumbuh baik dari revenue dan net profit. Kami masih membukukan pertumbuhan yang positif," ujarnya.
Untung dan Buntung Taksi Online
Sejak awal kehadirannya, taksi online begitu mempesona. Taksi dengan pemesanan menggunakan aplikasi ponsel pintar ini menerapkan tarif di bawah taksi konvensional. Berbagai kemudahan lain yang ditawarkan antara lain berbagai pilihan pembayaran hingga tersedianya estimasi biaya perjalanan.
Sinta, pengguna taksi, menuturkan keunggulan lain menggunakan taksi online. Menurut dia, waktu tunggu taksi online sejak pemesanan jauh lebih singkat ketimbang waktu tunggu taksi konvensional. Taksi konvensional, katanya, biasanya baru sampai 30-60 menit setelah pemesanan menggunakan telepon. "Dengan taksi online jauh lebih cepat," katanya. Sinta pun kini beralih dari pengguna taksi konvensional menjadi pelanggan setia taksi online.
Peralihan pelanggan itu membuat susah para sopir taksi konvensional. Para sopir mengaku semakin kesulitan mendapatkan penumpang. Sukib, sopir taksi Express mengaku sekarang merupakan periode sulit menjadi pengemudi. Menjadi sopir taksi Express sejak 2003, dia terpaksa bekerja lebih keras untuk mendapatkan penumpang.
"Makin ke sini makin sulit, untung-untungan. Makin sulitnya ya karena adanya (taksi berbasis) aplikasi. Sekarang harus banyak muter, kalau mangkal cuma habis di waktu aja," tutur Sukib.
Sebelum kehadiran taksi online, pemilik mobil biasanya meminta setoran sebesar Rp 250-300 ribu per hari kepada Sukib. Kelebihan penghasilan setelah dipotong uang bensin menjadi milik sopir. Seiring meningkatnya kompetisi, tarif setoran pun tak lagi dipatok melainkan direvisi setiap hari. Para sopir menyebutnya sebagai "cak argo". Caranya, besaran setoran ditentukan dengan melihat pendapatan di penghujung hari.
Parmadi, sopir BlueBird, mengatakan dalam sehari dirinya mengumpulkan uang sampai Rp 500-600 ribu. Uang tersebut kemudian disetor ke kantor. Ketika menyetor, sopir memperoleh informasi ihwal komisi yang mereka dapat hari itu. Biasanya, dia mendapat komisi Rp 100-150 ribu setiap hari. "Tapi sejak ada taksi online, komisi menurun. Di bawah Rp 100 ribu lah," katanya.
Penurunan penghasilan itu menjadi salah satu alasan para sopir taksi konvensional menggelar demonstrasi pada 22 Maret lalu. Dalam aksinya, para sopir taksi menyalahkan tidak adanya regulasi yang mengatur keberadaan taksi online. Taksi online pun dianggap sebagai angkutan ilegal.
Advertisement
Kompetisi Taksi Online
Gaung taksi online merebak di Indonesia sejak 2015. Namun, kehadiran taksi online yang menggunakan aplikasi ponsel pintar sudah hadir di Indonesia sejak setahun sebelumnya. Mulanya, hanya ada 2 perusahaan besar yang kala itu mendominasi pasar taksi online. Mereka adalah Grab dan Uber. Sebelum pada akhirnya, perusahaan dalam negeri Go-jek pun memperluas sayap bisnisnya dengan merambah taksi online bertajuk Go-Car.
Uber dapat dikatakan raja layanan transportasi online roda empat berplat hitam. Kendaraan-kendaraan Uber tersebar di 57 negara menjadi ekspansi Uber dalam mengembangkan bisnisnya di berbagai belahan dunia. Begitu juga dengan Indonesia.
Perusahaan asal Amerika Serikat tersebut, masuk ke Indonesia pada medio 2014, tepatnya pada bulan Agustus. Meski populer di berbagai penjuru dunia, namun tidak dengan Indonesia. Terbatasnya layanan Uber khususnya dalam metode pembayaran, menjadikan Uber kurang begitu dikenal oleh masyarakat. Pada kiprah awalnya di Indonesia, Uber hanya memberlakukan pembayaran dengan kartu kredit. Dengan kata lain, penumpang yang tidak memiliki kartu kredit tidak dapat menikmati layanan Uber. Tentu saja metode pembayaran cashless belum begitu populer di Indonesia, sekalipun di Jakarta.
Mirip dengan beberapa negara lainnya seperti di Perancis dan Meksiko, Uber pun mendapat pertentangan di Indonesia. Bahkan petugas sempat membuat satuan tugas (satgas) untuk memburu keberadaan taksi plat hitam ini. Satgas dibentuk dengan menggabungkan Ditlantas Polda Metro Jaya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dan Satuan Pamong Praja DKI Jakarta.
Berbeda dengan Uber yang mendapat pertentangan pada saat masuk ke Indonesia, Grab dapat dikatakan agak sedikit mulus. Hal itu dikarenakan, Grab awal mulanya hanya menyediakan jasa aplikasi untuk menjadi penghubung antara calon penumpang dengan sopir taksi konvensional yang menjadi mitranya, pada saat itu yang dikenal dengan Grab Taxi. Tak terpaut jauh dengan Uber, Grab Taxi masuk lebih awal ke Indonesia pada Juni 2014.
Tidak dengan instan Grab Taxi menyediakan layanan taksi online berplat hitam. Kehadiran Go-jek pada saat itu, membuat Grab Taxi meluaskan layanannya ke jasa transportasi roda dua terlebih dahulu dengan diberi label Grab-Bike. Masuk tahun 2015, Grab Taxi dan Grab Bike melebur pada satu nama, yakni Grab. Dengan peleburan itu, Grab meluncurkan Grab Car pada Juni 2015. Peluncuran pertama dilakukan di Bali, dua bulan kemudian pada Agustus 2015 peluncuran di Jakarta dilakukan.
Meski telah melakukan ekspansi ke bisnis taksi plat hitam, namun Grab Car tidak menemukan halangan yang berarti dibandingkan Uber. Hal tersebut dikarenakan, pihak manajemen Grab Car mengaku perusahaannya hanya menggunakan mobil rental yang dirangkul menjadi rekanan.
Bukan hanya itu, Grab Car mengaku bahwa semua mobil yang beroperasi telah menjalani uji kelayakan. Walau demikian faktanya, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak temuan ihwal kendaraan pribadi yang juga digunakan para sopir untuk bergabung dengan Grab Car.
Persaingan taksi online semakin ketat ketika memasuki awal 2016. Go-Jek tidak mau kalah, perusahaan di bawah komando Nadiem Makarim meluncurkan bisnis serupa. Go-Car resmi masuk ke aplikasi Go-Jek pada 20 April 2016. Dengan menu Go-Pay nya, Go-Car sempat menawarkan diskon tarif 50 persen kepada penumpangnya. Hingga saat ini, 3 perusahaan tersebut mendominasi persaingan bisnis taksi online di tanah air dengan berbagai tarif, promo, dan layanan masing-masing untuk menarik para pelanggannya.
Tarif murah menjadikan taksi online sebagai primadona. Untuk mengetahui lebih detail, tim Liputan6.com melakukan perbandingan tarif terhadap taksi konvensional dengan taksi online.
Perjalanan yang dilakukan dari Taman Suropati, Menteng, menggunakan taksi konvensional menuju Senayan yang berjarak kurang lebih 7 kilometer, dikenakan tarif Rp 36 ribu. Dengan rute dan jam pemesanan yang sama, taksi online mematok harga yang kompetitif. Taksi online Uber hanya mengenakan tarif Rp 24 ribu.
Direktur Operasional BlueBird, Andrianto Djokosoetono, mengatakan masyarakat masih menginginkan pelayanan yang teruji. BlueBird, katanya, sudah menunjukkan pelayanan yang bermutu. Dia juga meyakini perusahaannya dapat memenangi perebutan ceruk bisnis taksi. "Sudah terbukti, berbagai kompetisi sudah kami lalui," ujarnya yakin.
Managing Director PT Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengatakan perusahaannya akan terus menjaga tarif taksi online tetap kompetitif. "Tarif berdasarkan kesepakatan antara penyedia jasa dan pelanggan," katanya.