Liputan6.com, Jakarta: Jenazah Teguh Karya sudah disemayamkan di Sanggar Teater Populer, Jalan Kebun Pala I Nomor 295, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (11/12) petang. Putra kelahiran Pandeglang, Banten, 64 tahun silam itu meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Mintoharjo, Jakpus, sekitar pukul 10.30 WIB. Menurut seorang kerabat dekat Teguh, sutradara kondang itu wafat karena gangguan pernapasan.
Maestro film Indonesia itu memang sudah mengidap stroke sejak tiga tahun silam. Dia, pertama kali diserang stroke saat menyelesaikan film yang tak sempat diberi judul, Mei 1998. Tubuhnya limbung dan tatapan mata nanar. Lantas, ia dilarikan ke rumah sakit. Dua tahun kemudian, ia kembali terserang stroke. Sebulan kemudian, stroke datang lagi. Tiga kali dilanda badai stroke, ia tak berdaya. Akhirnya, Teguh mesti melewati hari-harinya dengan berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda.
Teguh menggarap film perdananya berjudul Wajah Seorang Laki-Laki pada 1971. Kala itu, ia menggunakan nama Steve Liem Tjoan Hok. Lantas, selama 30 tahun pria yang tetap melajang hingga akhir hayatnya itu mengalami masa keemasan. Selain menjadi pekerja film, Teguh pernah bekerja sebagai Stage Manajer di Hotel Indonesia pada 1961-1972. Tapi, rupanya, dunia teater telanjur melekat di hati pria kurus berkumis tipis itu. "Bagaimanapun juga aku harus hidup dalam dunia teater," tegas lulusan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) itu.
Sejak 1958 hingga 1988, ia telah menghasilkan 18 judul film. Sebelas di antaranya masuk nominasi piala Citra, seperti Cinta Pertama (FFI 1974), Ranjang Pengantin (FFI 1975), dan November 1828 (FFI 1979). Begitu pula film Di Balik Kelambu (FFI 1983), Ibunda (FFI 1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (FFI 1989). Film Ibunda, selain menggondol Piala Citra kategori penyutradaraan juga memenangkan kategori Cerita.
Teguh juga pernah terdaftar sebagai pengurus Dewan Kesenian Jakarta pada 1968-1974. Pada tahun 1968 itu, ia mendirikan Teater Populer. Teater ini telah melahirkan sejumlah pemain teater handal, antara lain, Tuti Indra Malaon, Slamet Rahardjo, Nano Riantiarno, Sylvia Nainggolan, Dewi Savitri, dan Boyke Roring. Hengky Solaiman, Frank Rorimpandey, Salim, Dadi Jaya, Christine Hakim, Ayu Azhari, dan Niniek L. Karim juga pernah bergabung dalam teater itu. Sebagian di antara artis orbitannya sempat menghadiri ulang tahun Teguh ke 64, September silam. Tapi, dia tak menikmati peringatan hari jadinya. Teguh hanya bisa menatap dengan mata yang kosong.
Hasil karya Teguh juga sempat sampai ke mata penikmat film internasional. Buktinya, karyanya: Doea Tanda Mata diputar ulang di Hongkong Internasional Film Festival pada 1983. Film itu juga meraih penghargaan sebagai karya terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik, 1986 silam. Kini, jasad Teguh telah terbujur kaku. Dia tak bisa menyaksikan kelanjutan pergulatan dunia film Indonesia yang tengah dilanda kelesuan. Rencananya, mendiang bakal dikremasi di Cilincing, Jakarta Timur, Kamis lusa. Soalnya, Teguh pernah berwasiat jika meninggal agar dikremasi. Termasuk, meminta abunya ditanam di halaman rumah yang juga menjadi sanggarnya.(KEN/Rike Amru dan Hendro Wahyudi)
Maestro film Indonesia itu memang sudah mengidap stroke sejak tiga tahun silam. Dia, pertama kali diserang stroke saat menyelesaikan film yang tak sempat diberi judul, Mei 1998. Tubuhnya limbung dan tatapan mata nanar. Lantas, ia dilarikan ke rumah sakit. Dua tahun kemudian, ia kembali terserang stroke. Sebulan kemudian, stroke datang lagi. Tiga kali dilanda badai stroke, ia tak berdaya. Akhirnya, Teguh mesti melewati hari-harinya dengan berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda.
Teguh menggarap film perdananya berjudul Wajah Seorang Laki-Laki pada 1971. Kala itu, ia menggunakan nama Steve Liem Tjoan Hok. Lantas, selama 30 tahun pria yang tetap melajang hingga akhir hayatnya itu mengalami masa keemasan. Selain menjadi pekerja film, Teguh pernah bekerja sebagai Stage Manajer di Hotel Indonesia pada 1961-1972. Tapi, rupanya, dunia teater telanjur melekat di hati pria kurus berkumis tipis itu. "Bagaimanapun juga aku harus hidup dalam dunia teater," tegas lulusan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) itu.
Sejak 1958 hingga 1988, ia telah menghasilkan 18 judul film. Sebelas di antaranya masuk nominasi piala Citra, seperti Cinta Pertama (FFI 1974), Ranjang Pengantin (FFI 1975), dan November 1828 (FFI 1979). Begitu pula film Di Balik Kelambu (FFI 1983), Ibunda (FFI 1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (FFI 1989). Film Ibunda, selain menggondol Piala Citra kategori penyutradaraan juga memenangkan kategori Cerita.
Teguh juga pernah terdaftar sebagai pengurus Dewan Kesenian Jakarta pada 1968-1974. Pada tahun 1968 itu, ia mendirikan Teater Populer. Teater ini telah melahirkan sejumlah pemain teater handal, antara lain, Tuti Indra Malaon, Slamet Rahardjo, Nano Riantiarno, Sylvia Nainggolan, Dewi Savitri, dan Boyke Roring. Hengky Solaiman, Frank Rorimpandey, Salim, Dadi Jaya, Christine Hakim, Ayu Azhari, dan Niniek L. Karim juga pernah bergabung dalam teater itu. Sebagian di antara artis orbitannya sempat menghadiri ulang tahun Teguh ke 64, September silam. Tapi, dia tak menikmati peringatan hari jadinya. Teguh hanya bisa menatap dengan mata yang kosong.
Hasil karya Teguh juga sempat sampai ke mata penikmat film internasional. Buktinya, karyanya: Doea Tanda Mata diputar ulang di Hongkong Internasional Film Festival pada 1983. Film itu juga meraih penghargaan sebagai karya terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik, 1986 silam. Kini, jasad Teguh telah terbujur kaku. Dia tak bisa menyaksikan kelanjutan pergulatan dunia film Indonesia yang tengah dilanda kelesuan. Rencananya, mendiang bakal dikremasi di Cilincing, Jakarta Timur, Kamis lusa. Soalnya, Teguh pernah berwasiat jika meninggal agar dikremasi. Termasuk, meminta abunya ditanam di halaman rumah yang juga menjadi sanggarnya.(KEN/Rike Amru dan Hendro Wahyudi)