Liputan6.com, Jakarta - Komisi III DPR mengadakan rapat kerja (raker) dengan Jaksa Agung (Jagung) HM Prasetyo untuk membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Sebagian besar anggota Komisi III DPR mempertanyakan rencana anggaran yang dibuat Kejaksaan Agung. Sebab, rencana anggaran dari Kejagung hanya berkisar Rp 4,63 triliun.
"Anggaran Kejaksaan dari tahun ke tahun enggak naik. Kalau sekitar Rp 4 triliun misalnya membagi-bagi 31 provinsi ini kan enggak jadi. Itu netesnya cuma sedikit sekali. Kejaksaan kan perannya vital dalam penegakan hukum di Indonesia?" tanya anggota Komisi III DPR Hazrul Azwar dalam rapat di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin (13/6/2016).
Menurut dia, anggaran yang direncanakan Kejaksaan Agung jauh lebih kecil dari instansi penegak hukum lainnya. Padahal, harus ada perhitungan matang terkait biaya penyelesaian perkara dan persoalan lainnya di kejaksaan.
"Saya bandingkan misalnya dengan kepolisian, cukup signifikan kenaikannya dari Rp 60 (triliun) menjadi Rp 67 triliun. Kejaksaan malah turun padahal begitu vitalnya Kejaksaan Agung ini untuk penegakan hukum bersama kepolisian dan KPK," tutur Hasrul.
Anggota Komisi III DPR lainnya, Abubakar Al Habsyi, juga menilai anggaran Kejagung, khususnya di bidang pencegahan sangat minim.
"Keberpihakan hukum dari pemerintah itu angkanya minimize. Buktinya di kejaksaan tidak ada angka mendesak. Ada hal penting, soal pembinaan SDM harus serius diperhatikan khususnya dalam etika moral. Jangan rakyat jadi sasaran. Fakta lapangan munculkan bahasa seperti itu. SDM perlu ditingkatkan dengan program yang lebih uptodate," ungkap Abubakar.
"Masalah hukum jangan mancing orang korupsi, coba fokus ke pencegahan," tutup politikus PKS itu.
Anggota Komisi III DPR Akbar Faizal mengatakan, seharusnya, Kejaksaan Agung menaikkan anggarannya. Hal itu dilakukan agar target penyelesaian perkara di kejaksaan bisa terlaksana.
"Kalau anggarannya gini, saya yakin enggak akan tercapai. Lalu kedua, (naiknya anggaran) untuk mencegah mandeknya perkara yang diselidik kepolisian akibat kurangnya anggaran penuntutan di kejaksaan maka kemudian saling curiga di antara dua lembaga. Hal ini bisa saja terjadi," Akbar memaparkan.
Ini juga tidak akan mengurangi potensi terjadinya korban dan korupsi anggaran dari birokrasi kejaksaan. Anggaran yang minim, lanjut dia, membahayakan independensi kejaksaan dan penegak hukum karena perkara ditangani menggunakan sumber anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Politikus Partai Nasdem ini pun memberikan rekomendasi. Pertama, agar pencairan anggaran Kejaksaan Agung memakai sistem actual cost atau reimburse. Jadi, anggaran yang tersisa tidak perlu dipaksakan perubahannya, sehingga bisa dialokasikan untuk penanganan perkara yang butuh biaya ekstra.
"Kedua, menaikkan batasan maksimal anggaran yang diberikan dari Rp 3,3 juta menjadi Rp 10 juta untuk perkara yang tingkat kesulitan penanganannya sedang dan Rp 25 juta untuk yang tingkat kesulitannya tinggi seperti illegal logging," kata Akbar.
"Ketiga, membuat klasifikasi perkara berdasarkan kebutuhan anggaran supaya membantu kejaksaan untuk menyusun. Misal dari laporan-laporan dari Kejaksaan Negeri didata sehingga kejaksaan bisa merancang berapa sih anggaran yang dibutuhkan," dia menambahkan.
Lalu keempat, kata Akbar, perlu membangun sistem pencatatan penanganan perkara di wilayah Kejaksaan Negeri dan perlu mengubah indikator keberhasilan berdasarkan jumlah perkara yang bisa ditangani.
"Jangan sampai ada penyalahgunaan keuangan negara. Dan yang terakhir, penyelesaian secara jangka panjang," Akbar menutup.
RAPBN 2017 yang dirancang Kejaksaan Agung besarannya Rp 4,63 triliun terbagi di dalam 3 pos utama, yaitu belanja pegawai sekitar Rp 2,83 triliun, belanja operasional Rp 562 miliar, nonoperasional Rp 1,24 triliun. Jumlah ini hampir sama dengan tahun sebelumnya sebelum APBNP 2016.
Advertisement