Sukses

Pernyataan Anies Baswedan soal Surat Teguran untuk Bawahannya

Anies Baswedan menyesalkan Staf Kemendikbud tidak berada di tempat, sehingga tidak bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menegaskan tidak pernah membuat surat terbuka soal pelayanan Kemdikbud terhadap seorang guru yang mengurus kepangkatan.

"Itu suratnya enggak terbuka, itu surat tertutup dikirim ke internal, dikirim ke eselon satu saja," ucap Anies kepada Liputan6.com, Senin, 13 Juni 2016 malam.

Dalam surat yang telah beredar itu, Anies bercerita tentang pertemuannya dengan seorang guru TK asal Semarang di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jakarta. Pertemuan itu tidak disengaja.

Guru TK itu rupanya sedang mengurus surat kepangkatan, tapi tidak berhasil karena petugas tidak ada di tempat.

Dalam surat tersebut, Anies mengungkapkan sulitnya mengurus berkas gara-gara petugas Kemendikbud tidak berada di tempat.

Anies sendiri menyesalkan hal itu. Dia mengatakan seharusnya petugas tidak boleh meninggalkan tempat kerjanya agar tetap bisa memberikan pelayanan.

"Saya katakan kepada semuanya ini enggak boleh terjadi, masa enggak ada ngurusin?" ucap Anies.

Terkait surat yang kini telah beredar luas, Anies menyebutnya sebagai memo, bukan surat yang dikirim ke grup WhatsApp (WA) eselon satu Kemendikbud. "Itu saya di jalan nulis, saya kirim ke WA grup eselon satu," kata dia.

Kini, kata mantan Rektor Universitas Paramadina ini, masalah ibu guru tersebut sudah beres. "Sudah selesai masalahnya. Dia cuma perlu nomor (kepangkatan), nomornya keliru, karena nomornya keliru masukannya salah terus, karena masukannya salah terus akhirnya urus ke Jakarta," kata Anies.

2 dari 2 halaman

Isi Surat Anies Baswedan

Berikut surat Anies Baswedan yang ditujukan kepada bawahannya:

Kepada Yth Jajaran Pimpinan Kemendikbud

Assalamu'alaikum wr wb

Kemarin saya mampir ke Unit Layanan Terpadu di Gedung C. Saya tuliskan catatan kecil untuk jadi bahan refleksi dan susun langkah perubahan.

Begini ceritanya .....

"Inggih Pak, mboten napa-napa," jawab Ibu Mei. Iya tidak apa-apa Pak. Itu jawabnya saat saya minta maaf atas nama Kemendikbud.

Lalu saya tanya kenapa sampai pergi ke Jakarta.  "Saya ini sudah 59 Pak. Tahun depan pensiun, kalau tahun ini ada masalah saya takut tidak bisa terima uang pensiun," Ibu Mei menjelaskan alasan kenapa ngurus ke Jakarta.

Itu cuma satu dari dua ratusan orang yang datang di hari Jumat kemarin. Ibu guru itu bernama Ibu Mei, seorang guru TK dari Kec Mertoyudan, Kab. Magelang. Dia berangkat ke Jakarta ditemani putrinya yang tinggal di Semarang dan seorang staf Dinas Pendidikan Kab. Magelang.

Sesudah jum'atan, saya berjalan melewati ULT. Tanpa sengaja, berpapasan lagi dengan mereka bertiga di selasar depan ULT.

Saya tanya apakah sudah beres, lalu putrinya menjawab, "tadi kami diminta oleh petugas ULT utk mengurus ke lantai 13 di Gedung D. Kami sudah ke sana lalu menunggu tapi petugasnya tidak ada."

"Sekarang mau kemana?" tanya saya. Putrinya kemudian menjawab, "kami mau ke Bandara, terlanjur beli tiket PP sore ini." Semua diam. Saya kaget, ya amat terkejut.

Bapak dan Ibu semua, seorang Ibu guru TK yg sudah amat senior dari pinggiran Kab Magelang telah habiskan uang untuk beli tiket pesawat Semarang-Jakarta PP dan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Alasannya sederhana: petugas tidak di tempat.

Cukup sudah tempat ini jadi pangkal kekecewaan !!

Saya ajak mereka ke ruangan saya dan panggil petugas GTK untuk membereskan hingga tuntas.

Bapak dan Ibu, ini tidak seharusnya terjadi dan tidak boleh berulang. Saya tegaskan sekai lagi: TIDAK BOLEH BERULANG.

Saya akan ceritakan lagi pengalaman nyata, pengalaman kami yang pernah saya ceritakan pada Ibu dan Bapak sekalian saat kita bicara soal pelayanan pada guru beberapa bulan yang lalu.

Saat itu saya masih duduk di bangku SMA, saya mengantar almarhum Ayah ke Stasiun Tugu di Jogjakarta. Beliau berangkat naik KA Senja Utama ke Jakarta, akan mengurus soal kepangkatannya di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kami sekeluarga melepas dengan penuh harap bahwa kepangkatannya bisa beres. Beberapa hari kemudian, menjelang subuh saya menjemput di Stasiun Tugu lagi. Saat itu diceritakan bahwa urusannya tidak selesai karena pejabat yang berwenang sedang tidak di tempat dan yang lain tidak bisa memutuskan. Ya, sama persis. Pulang kampung dengan tangan hampa. Sebabnya sama: pejabat tidak ada di tempat.

Sekembalinya dari Jakarta, pagi itu juga ayah langsung mengajar lagi. Ruang kelasnya tidak boleh kosong terlalu lama.

Beberapa waktu kemudian, kami sekeluarga mengantar lagi ke Stasiun Tugu. Ayah berangkat lagi ke Jakarta untuk menuntaskan urusan kepegawaiannya, yang pada waktu itu, Beliau sudah lebih dari 25 tahun mengajar.

Bawa kopor dan tas dokumen, berisi semua berkas-berkas penunjang. Di perjalanan pulang dari stasiun, Ibu bergumam sambil matanya berkaca-kaca, "Kasihan Abah, jadi korban perubahan aturan". Kami panggil Ayah dng sebutan sunda Abah. Saya tidak ingat detail aturannya tapi kami semua diam sambil berharap kali ini beres.

Datang harinya Beliau kembali ke Jogja. Saya jemput lagi di Stasiun Tugu subuh-subuh. Beliau membawa kabar, tidak bisa. Ikhtiar pengurusan pangkat itu hasilnya nihil.

Saya ingat, kita duduk mengitari meja makan mendengarkan cerita Beliau saat mengurus di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bawa map berisi dokumen, mengantri di ruang tunggu, hingga akhirnya ditemui Sang Pejabat. Detail cerita Beliau. Kita semua jadi geram dan kesal mendengarnya. Di akhir obrolan pagi itu, beliau mengatakan kira-kira begini, biarlah negara tidak mengakui masa kerja ini tapi yang penting ada di catatan Allah.

Hingga akhirnya hayatnya, pangkat Ayah tidak pernah bisa dituntaskan. Ayah  mengajar lebih dari 40 tahun. Ribuan pernah jadi muridnya. Kebahagiaannya didapat bukan dari selembar kertas pengakuan negara, tapi dari lembaran surat, kartu lebaran, atau silaturahmi bekas murid-muridnya.

Setiap melihat guru datang ke Kemendikbud mengurus kepangkatan, sertifikasi, NUPTK dll, saya membayangkan mereka kelak pulang ke rumah disongsong oleh istri, suami dan anak-anak yang berharap dengar kabar baik, seperti keluarga kami dulu. Semua anggota keluarga menunggu kepulangan dengan penuh harap untuk sebuah urusan yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Tugas mereka mengajar, mendidik, dan menginspirasi. Tugas birokrasi pendidikan adalah memudahkan mereka bekerja, bukan malah menyulitkan. Cukup sudah. Cukup kementerian ini jadi kontributor permasalahan administrasi tanpa akhir.

Bapak dan Ibu, Laporan dari BKLM tentang jumlah guru yang datang ke ULT Kemdikbud ini jangan pernah dipandang semata-mata sebagai data statistik untuk dianalisa.

Tiap angka itu adalah seorang manusia harapan keluarga. Mereka adalah pilar keluarga. Anak, istri atau suami menunggu penuh harap di kampung halaman. Mereka adalah pejuang yang telah lelah, telah berkeringat di garis depan, di depan kelas utk mendidik anak-anak kita.

Lunasi semua haknya. Permudah semua prosesnya. Manusiawiakan kembali proses pengurusannya. Tuntaskan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Di hari Sabtu siang, renungkan catatan ini. Bayangkan tiap kita berada di posisi para pencari kepastian, para Ibu dan Bapak guru yang datang ke ULT.

Awal minggu depan, saya akan siapkan surat instruksi resminya. Instruksinya: semua unit yang terkait dengan urusan data guru dan seputar pengurusan administrasi guru untuk menyiapkan rencana perombakan total. Penyederhanaan total. Segera siapkan utk menjalankan instruksi

Jika Bapak dan Ibu menemui kendala, ada yang menolak untuk berubah, ada yang tidak sanggup untuk mensederhanakan proses maka tegur dengan keras dan tegas. Beri aba-aba untuk minggir dari barisan!

Anies Baswedan

Video Terkini