Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik yang dimohonkan Humphrey R Djemat, tim kuasa hukum PPP kubu Djan Faridz.
Sebanyak 3 anggota PPP kubu Djan Faridz tidak terima dengan keputusan Kemenkumham yang mengesahkan kepengurusan Romahurmuziy hasil Muktamar islah. Mereka menggugat Pasal 33 ayat (2) UU Parpol karena pasal itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum, lantaran tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan.
Dalam agenda sidang kali ini, pemohon menghadirkan saksi ahli. Mereka adalah ahli hukum tata negara Yusril Izha Mahendra dan Ahmad Syarifuddin Natabaya. Selain itu, mantan anggota Komisi II DPR Chairuman Harahap, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pontianak Zulkarnain juga turut dihadirkan sebagai saksi fakta.
Dalam penjelasannya, Natabaya mengatakan, Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan putusan yang bersifat inkracht atau berkekuatan hukum tetap dan tanpa ada perlawanan hukum lain. Sehingga tidak bisa dilawan lagi.
"Konsep negara hukum itu, tidak ada orang yang berdiri di atas hukum. Tidak ada kekuatan lain, kita harus tunduk. Jadi apapun yang diputuskan di pengadilan yang bersifat inkracht, tak ada yang tak bisa untuk mengamander (menerima) hukum itu," ucap Natabaya di ruang persidangan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Natabaya mengatakan, dalam Pasal 33 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, memang terlihat ada yang menggantung, lantaran tidak ada pasal penjelasan soal apa yang harus dilakukan menteri, terutama menjalankan perintah pengadilan.
"Memang dalam pasal itu, ada yang menggantung. Bahwa ini sudah diselesaikan dan inkracht, tapi harus ada ayat baru, di mana keputusan itu harus ada bunyi juga menteri melakukan putusan tersebut, maka perlu pasal baru," ungkap Natabaya.
Baca Juga
Multitafsir
Advertisement
Sementara itu Yusril menyampaikan, seharusnya usai ada putusan MA, maka Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly harus segera mengesahkan pengurusan partai, baik putusan yang dihasilkan dari mahkamah partai ataupun pengadilan.
"Apa pun putusannya, (harusnya Menkumham mengatakan) sini saya sahkan. Jadi keputusan dari Mahkamah Partai atau pengadilan, Menkumham tidak punya pilihan lain, selain mengesahkan. Ya, tidak bisa dia mengatakan tidak ada perintah pada saya, agar tidak mengesahkan," jelas Yusril.
Sementara itu, saksi Chairuman Harahap menuturkan, kasus tersebut seharusnya tak perlu ada lagi, karena ada putusan MA harus segera ditaati.
"Kasus ini (perebutan parpol dengan Menkumham) ini tak perlu lagi. Karena ada putusan MA. Apa yang MA keluarkan, itu harus ditaati," tandas Chairuman Harahap.
Pada sidang Kamis 14 April 2016, pemohon mendalilkan uji materi Pasal 33 ayat 2 UU Partai Politik, lantaran dipandang menimbulkan ketidak pastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan MA. Pemohon menilai pasal a quo, menimbulkan multitafsir.
Multitafsir yang dimaksud, lantaran Menkumham bisa mengabaikan putusan kasasi dan berhak untuk tidak menerbitkan surat keputusan pengesahan kepada susunan kepengurusan partai politik yang telah dibenarkan keabsahannnya oleh kasasi.
Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya mengatakan alasan khusus mengapa tidak menjalankan amar putusan Mahkamah Agung. Amar tersebut MA memutuskan untuk mengabulkan permohonan PPP kubu Djan Faridz. Menurut dia, perkara perdata tidak melulu harus diselesaikan melalui jalur hukum.
Selasa 20 November 2015, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PPP kubu Djan Faridz. MA juga membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. MA menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Majelis hakim diketuai oleh Imam Soebchi dengan anggota Irfan Machmudin dan Supandi.