Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan tingginya curah hujan menjadi penyebab‎ banjir yang terjadi di Solo, Jawa Tengah.
‎Basuki mengungkapkan, sebenarnya Kementerian PUPR telah memasang pompa untuk mengantisipasi meluapnya sungai Bengawan Solo. Namun lantaran curah hujan yang tinggi, kinerja pompa tidak mampu mengimbangi banyak volume air di sungai tersebut.
‎"Pompa sudah kita pasang ada 8 unit di sekitar Solo dan sudah beroperasi. Tetapi karena tingginya curah hujan termasuk drainasenya tertutup sampah, yang menghambat sehingga airnya antri masuk ke sungai Bengawan solo," ujar dia di Jakarta, Senin 20 Juni 2016.
Basuki mengungkapkan, untuk mengantisipasi luap di sungai tersebut, pihaknya tidak akan melakukan normalisasi pada sungai tersebut. Namun normalisasi akan dilakukan pada waduk yang berada di hulu Bengawan Solo, yaitu Waduk Gajah Mungkur.
"Kalau sungainya tidak dinormalisasi, tetapi di waduk Bengawan Solo.‎ Jadi kalau (banjir) yang di Solo itu memang air di Bengawan Solo tinggi sehingga anak-anak sungainya lebih rendah sehingga tidak bisa masuk," tandas dia.
Belum Tanggap
Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Kapusdatin BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, masyarakat belum siap jika terjadi bencana besar. Pengetahuan masyarakat tentang bencana memang tinggi, namun hal itu belum berubah menjadi sikap.
"Pengetahuan mereka memang meningkat, tapi belum jadi sikap, perilaku, dan budaya yang mengaitkan dengan mitigasi. Ini aja baru longsor," tutur Sutopo di Kantor BNPB, Jalan Pramuka, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin 20 Juni 2016.
Sutopo melanjutkan, Indonesia juga saat ini minim dengan peralatan Early Warning System (EWS) atau sistem peringatan dini. Hingga 2016, hanya terdapat 30 alat EWS yang tersebar di seluruh Indonesia dan baru akan dipasang lagi tahun ini sebanyak 24 buah.
"Jangkauan satu alat 100 meter persegi," beber Sutopo.
Meski BNPB telah memasang alat, lanjut Sutopo, seringkali perawatannya diabaikan oleh Pemda setempat. Bahkan, di sebuah desa ternyata alat EWS justru dijadikan tempat jemuran oleh warga lantaran terbengkalai.
"Seringkali alat rusak karena habis kita pasang. Maintenance terkendala. Perawatan jadi tanggungan Pemda. Kalau ditanya Indonesia butuh berapa, saya bilang jutaan," tegas dia.
Penyebab belum siapnya masyarakat terhadap bencana, juga disebabkan dengan anggaran penanggulangan bencana di BPBD masih belum mencukupi. Idealnya, dibutuhkan dana 1 persen dari APBN dan APBD pertahun untuk alokasi darurat siaga bencana.
"Idealnya 1 persen dari APBD yakni sekitar Rp 30 triliun. Tapi sekarang hanya Rp 300 juta yakni 0.02 sampai 0.07 persen per tahun. Akibatnya, pengurangan resiko bencana belum dapat dilakukan dengan optimal," pungkas Sutopo.