Sukses

Menunggu Keluarnya 'Bandit' di Sidang Jessica

Ayah Mirna, Darmawan Salihin, mengibaratkan perjalanan cerita pembunuhan Mirna seperti film koboi. Dia masih menunggu banditnya keluar.

Liputan6.com, Jakarta - Saudari kembar Wayan Mirna Salihin, Made Sandy Salihin, menarik napas panjang sambil mengepalkan kedua telapak tangannya saat mendengar suara Jessica Kumala Wongso di awal persidangannya yang kedua. Jessica menanggapi hakim ketua yang menanyakan kondisi kesehatannya.

"Apakah saudari mengikuti persidangan ini dalam keadaan sehat?" tanya Hakim Ketua Kisworo kepada Jessica di Ruang Sidang Kartika 1, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2016).

"Sehat," jawab Jessica.

Sandy yang mengenakan atasan blus biru tua dengan rambut terurai, menatap ke arah kursi terdakwa sambil mengerutkan dahinya.

Pandangannya tajam berusaha melihat Jessica dengan lebih jelas. Ketika hakim ketua mengetuk palu dua kali tanda persidangan ditunda, Sandy bahkan berdiri setengah jinjit kemudian melongok ke depan.

Saat itu Jessica berjalan keluar ruang sidang. Mata Sandy terus mengikuti pergerakan Jessica hingga hilang di balik pintu depan ruang sidang.

Tidak hanya Sandy yang gemas dengan Jessica. Ayah Mirna, Darmawan Salihin, yang mengawal kasus pembunuhan putrinya hingga ke ruang pengadilan, mengibaratkan perjalanan cerita pembunuhan Mirna seperti film koboi dan dirinya sebagai penonton.

"Saya baru mau nonton film. Kemarin baru minta eksepsinya, hakimnya juga mau nonton film dulu sampai tamat," kata Darmawan yang duduk di kursi pengunjung.

Ditanya harapannya untuk kasus pembunuhan Mirna pada sidang kedua ini, Darmawan mengaku tak dapat berkomentar banyak. Karena ia belum melihat sepak terjang Jessica di kursi pesakitan. Ia hanya berharap hakim memutuskan akhir dari 'film koboi' ini dengan hati nurani.

"Kan belum keluar banditnya, kaya film koboi. Kita tunggu Pak Hakim hati nuraninya," ujar Darmawan.

Sidang kedua kasus pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso berlangsung Selasa 21 Juni siang. Pada sidang kedua ini, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang berasal dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, menanggapi eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan tim penasihat hukum Jessica.

Sebelumnya dalam sidang perdana yang berlangsung Rabu 15 Juni 2016, Jaksa Penuntut Umum  mendakwa Jessica sengaja membunuh Mirna di Cafe Olivier, West Mall, Grand Indonesia pada Rabu 6 Januari 2016.

Karena itu, lulusan universitas di Australia itu diancam Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 340 itu yakni pidana penjara 20 tahun, seumur hidup, atau maksimal hukuman mati.

Usai dakwaan, tim pengacara Jessica langsung membacakan eksepsi atau nota keberatan. Pengacara Jessica menyatakan, tuduhan pembunuhan berencana terhadap kliennya itu tidak bisa diterima akal sehat.

"Jessica dituduh melakukan pembunuhan dengan perencanaan. Coba bayangkan dengan arahan katanya, karena Mirna menasihati Jessica supaya putus dengan pacarnya. Apakah ini masuk akal? Ini alasan yang tidak dapat diterima akal sehat," kata pengacara Jessica di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam eksepsinya.

Ketua tim kuasa hukum Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan juga menyebut, kliennya tidak memiliki catatan kriminal seperti yang dituduhkan polisi dan jaksa penuntut umum (JPU). Pihaknya telah mengkonfirmasi hal tersebut ke Konjen Indonesia di Australia.

"Ternyata tidak ada criminal record Jessica. Sekarang kami minta dilegalisir di Konjen Indonesia di Australia. Itu bisa jadi gambaran hakim. Jangan infomasi keliru menghukum Jessica," ucap Otto jelang sidang.

Otto menilai, polisi dan jaksa telah salah tafsir mengenai informasi dari kepolisian Australia (AFP) terkait kasus kecelakaan mobil yang dialami Jessica di Negeri Kanguru.

"Saya melihat yang di berkas itu bukan criminal record, salah menafsirkan. Ada seperti contoh Jessica dipanggil pengadilan untuk bersidang di pengadilan karena nabrak tembok. Kalau nabrak tembok kan ada persidangan gangi-rugi. Ini ada case. Bukan kriminal," tutur dia.

Otto menjelaskan, insiden kecelakaan di Australia itu masuk dalam kasus perdata dan tuntutannya hanya ganti rugi.

"Kalau ini on going, tuntutan ganti rugi, bukan pengadilan. Kalau criminal record, harus ada putusan hukum," pungkas Otto.

2 dari 2 halaman

Perang Argumen

Namun, eksepsi atau nota keberatan pengacara Jessica dimentahkan Jaksa. "Jaksa penuntut umum pada dasarnya menolak semua eksepsi tim penasihat hukum terdakwa," ujar Jaksa Ardito Muardi.

Penolakan ini, kata Ardito, didasarkan pada pemahaman yang keliru atas dakwaan JPU. Sebab, eksepsi yang diajukan kuasa hukum seharusnya hanya menyinggung aspek formal saja, bukan pada aspek materiil.

"Sehingga eksepsi tersebut tidak berlandaskan hukum, dan patut untuk ditolak," kata dia. Dengan penolakan ini, Jaksa meminta majelis hakim segera mengeluarkan putusan sela berdasarkan tiga amar.

Pertama, menolak permohonan eksepsi dari penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya. Kedua, bahwa surat dakwaan terhadap Jessica telah disusun sebagaimana mestinya dan dapat dijadikan dasar‎ pemeriksaan ini.

"Ketiga, menetapkan bahwa pemeriksaan perkara atas nama Jessica Kumala Wongso tetap dilanjutkan," ucap dia.

Menurut Ardito, pembunuhan berencana cukup dijelaskan dengan uraian tentang subjek atau pelaku, bukan objek atau alatnya.

"Intinya bagi kami, yang namanya perencanaan itu bukan uraian tentang objek, tapi uraian tentang subjek," ujar Ardito.

Dia menerangkan uraian tentang subjek, yakni pelaku memiliki niat di dalam batin bahwa akan melakukan pembunuhan. Selain itu, pelaku juga memiliki ketenangan dalam melakukan perencanaan pembunuhan itu.

‎"Nah itu subjeknya, bukan semata-mata pada alat apa yang dipakai. Namanya pembunuhan berencana itu dia merencanakan bunuh pakai pisau, ternyata bunuh pakai cangkul, ya bisa saja," papar dia.

"Lagipula, pembunuhan dengan menggunakan alat berupa racun, berdasarkan praktik peradilan dan doktrin hukum, secara umum telah diterima dan dianggap sebagai pembunuhan berencana," imbuh Ardito.

Hal itu, kata dia, tanpa harus membuktikan dari mana, kapan, dan bagaimana pelaku mendapatkan racun, serta di mana racun tersebut disimpan. "Itu sudah termasuk dalam ketentuan Pasal 184 ayat 2 KUHAP yakni 'hal yang secara umum ‎sudah diketahui tidak perlu dibuktikan' atau noteire feiten," jelas Ardito.

Meski begitu, tim pengacara Jessica sempat meminta tanggapan atau duplik atas jawaban yang dibacakan Jaksa. Tetapi, majelis hakim yang dipimpin Hakim Kisyoro tidak mengabulkan permintaan itu berdasarkan Pasal 156 ayat 1 KUHAP.

Sidang kedua ini akhirnya ditunda hingga Selasa 28 Juni 2016 mendatang. Pada sidang ketiga nanti, majelis hakim akan menggelarnya dengan agenda putusan sela.

Video Terkini