Liputan6.com, Jakarta - Komisi III mempertanyakan tindakan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang menembak 122 terduga teroris sebelum membawanya ke pengadilan. Calon Kapolri Komisaris Jenderal Tito Karnavian menjelaskan keadaan saat itu tidak memungkinkan untuk menangkap para terduga teroris tersebut.
"Ada persoalan taktis di lapangan. Kita ambil tindakan ketika mereka membahayakan keselamatan petugas dan masyarakat umum," ujar Tito yang merupakan mantan Kepala Densus 88 Polri dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Dia mencontohkan kasus perlawanan Polri pada teror penembakan dan bom di wilayah Sarinah, Jalan MH Thamrin, 14 Januari 2016. Saat itu, petugas tidak memiliki pilihan lain selain melumpuhkan para teroris.
"Contohnya teror di Starbucks. Karena ingin dibawa ke pengadilan, tolong hentikan tembak-menembak dan kita gunakan pentungan, tidak mungkin. Pikiran kita cuma satu, dead or alive," tukas Tito.
Hal yang sama, lanjut dia, dilakukan oleh Kepolisian Prancis. Pelaku teror di Teater Bataclan, Paris, Prancis ditembak mati polisi. Tidak ditangkap hidup-hidup untuk dibawa ke pengadilan.
"Di Prancis, yang ke teater, enggak dibawa ke pengadilan karena ada persoalan taktis lapangan," ujar Tito.