Sukses

Demokrat dan Bukber Berujung OTT KPK

Di dalam rumah, sejumlah elite Partai Demokrat berkumpul. Mereka duduk membahas hasil operasi tangkap tangan KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Rumah di Cikeas, Bogor, Jawa Barat itu kembali menjadi sorotan. Sekitar tujuh kendaraan roda empat tampak parkir berjajar di depan pendopo yang berada tepat di samping rumah, kediaman Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) .

Sementara anggota Paspampres berjaga. Pengamanan di sana ketat. Mata kamera pun tak bisa menembus masuk.

"Ini internal saja. Kami belum bisa kasih informasi," tutur anggota Paspampres yang enggan menyebutkan namanya di Puri Cikeas, Bogor, Jabar, Rabu (29/6/2016).

Di dalam rumah, sejumlah elite Partai Demokrat berkumpul. Mereka duduk untuk membahas operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kader partai di Komisi III DPR, I Putu Sudiartana alias IPS.

IPS menambah panjang deretan kader Partai Demokrat yang terjerat kasus korupsi.

Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat mengatakan Imelda Sari mengatakan, sang ketua umum, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), langsung mengadakan rapat internal dengan jajaran pengurusnya begitu mendengar kabar OTT KPK tersebut.

"Pak Ketum (SBY) bersama jajaran petinggi partai yang lain akan melakukan rapat internal untuk menyikapi hal ini," ucap Imelda kepada Liputan6.com.

SBY (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bukber dan Transferan

Sejak Selasa malam 28 Juni 2016, pintu ruang kerja IPS yang terletak di lantai 9 Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, diberi tali merah hitam dan bertulis 'KPK'. Pada malam yang sama itu, IPS kabarnya dicokok di rumah dinas sang legislator, di Ulu Jami, Jakarta Selatan.

IPS ditangkap bersama staf pribadinya bernama Novianti dan tiga orang lainnya. Penangkapan IPS ini terbilang mengejutkan.

Hal itu karena sehari sebelumnya, Senin 27 Juni 2016, IPS berbuka puasa bersama KPK dan foto bersama pemimpin lembaga pemberantas korupsi itu. Tak lama setelah penangkapan, foto buka bersama Komisi III DPR dengan KPK pun langsung beredar.

Dalam foto itu, IPS berdiri di samping kanan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Di depannya duduk Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman.

I Putu Sudiartana saat buka bersama dengan KPK

Senyum sang anggota dewan, yang mengenakan jas hitam dan kemeja putih, mengembang seolah memperlihatkan keceriaan dan keakrabannya dengan para pemimpin KPK.

KPK sendiri mengundang Komisi III DPR berbuka bersama sebagai agenda rutin dalam bulan Ramadan. Tidak terdengar sama sekali akan ada OTT anggota DPR. Seperti disampaikan Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati.

"Tidak ada (agenda lain), hanya buka puasa saja," ucap Yuyuk saat ditanya kegiatan dalam acara bukber tersebut.

Kini setelah bukber usai, KPK menyandangkan status tersangka pada IPS. Ia menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pemulusan rencana 12 proyek ruas jalan di Sumatera Barat, agar dibiayai lewat APBN Perubahan 2016.‎ Putu diduga menerima suap Rp 500 juta.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief menjelaskan, uang Rp 500 juta itu ‎diberikan melalui tiga kali transfer. Pertama sebesar Rp 150 juta, kemudian Rp 300 juta‎, dan Rp 50 juta.

"Ditemukan tiga bukti transfer ke tiga rekening berbeda. Salah satunya rekening Putu," ujar Syarief di Gedung KPK, Jakarta.

KPK memberikan keterangan pers terkait penetapan I Putu Sudiartana sebagai tersangka kasus suap proyek pembangunan  jalan di Sumatera Barat, Jakarta, Rabu (29/6). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Syarief membeberkan, tiga transfer itu dilakukan dalam rentang waktu berbeda. Yakni pada Sabtu 25 Juni dan Senin 27 Juni 2016. Transferan pada Senin 27 Juni berlangsung saat anggota Komisi III DPR buka puasa bersama pimpinan KPK. Putu ikut dalam buka puasa bersama itu.

Diduga, saat buka puasa bersama itulah Putu menerima transferan sebagian dari Rp 500 juta tersebut. Namun, Syarief menegaskan, acara bukber itu tidak berkaitan dengan penanganan perkara maupun OTT yang dilakukan.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengungkapkan, pimpinan KPK baru mengetahui adanya transferan uang ke Putu, usai gelar perkara hasil OTT.

"Semua itu pekerjaan penyidik. Kapan transfer itu kami baru tahu setelah ada gelar perkara hari ini. Kalau kami sudah tahu saat itu, kami tangkap saat itu juga," ujar Basaria.

Selain di Jakarta, KPK melakukan operasi tangkap tangan terkait dugaan suap yang sama di Padang, Sumatera Barat dan Medan, Sumatera Utara dalam waktu bersamaan.

Dalam kasus dugaan suap pemulusan rencana 12 proyek ruas jalan di Sumatera Barat agar dibiayai lewat APBNP 2016, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka.

Ruang Anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana disegel KPK. (Liputan6.com/Taufiqurrohman)

Selain IPS, 4 orang lainnya, yakni staf Putu di Komisi III, Noviyanti, Suhemi yang diduga perantara, seorang pengusaha bernama Yogan Askan, serta Kepala Dinas Prasarana Jalan dan Tata Ruang dan Permukiman Sumatera Barat Suprapto.

Putu, Noviyanti, dan Suhemi selaku penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Sedangkan Yogan dan Suprapto selaku pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Penetapan 5 tersangka ini merupakan hasil ‎operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Tim Satgas KPK pada Selasa 28 Juni 2016 malam. Sebenarnya dalam OTT yang dilakukan di sejumlah tempat itu, Tim Satgas mengamankan enam orang. Di mana satu orang lainnya dilepaskan karena tidak terbukti terlibat dalam transaksi suap ini.

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif (kiri) dan Basaria Pandjaitan menggelar Konferensi Pers setelah melakukan pemeriksaan kepada I Putu Sudiartana, Jakarta, Rabu (29/6). KPK menetapkan I Putu Sudiartana sebagai tersangka. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Waktu untuk KPK dari Demokrat

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarif Hasan menyatakan,‎ pihaknya tidak akan memberikan bantuan hukum terhadap IPS. Menurut mantan Menteri Koperasi dan UKM itu, partainya tidak bisa menolerir kadernya yang terlibat kasus korupsi.

Namun demikian, ia meminta KPK tetap menggunakan asas praduga tak bersalah kepada kadernya tersebut.

"Kami mungkin semangatnya tidak memberikan pendampingan hukum, karena kita kan lagi sibuk berbenah," kata Syarif Hasan saat dihubungi di Jakarta.

"Kalau itu terjadi kami sesalkan sekali dengan tindakan pribadi ini, sangat tidak bisa ditolerir dan kita minta KPK mengusut tuntas jelas dengan asas praduga tak bersalah," sambung dia.

Syarief Hasan (Liputan6.com/Johan Tallo)

Syarif mengatakan, partainya belum menentukan sikap apakah akan memecat IPS atau tidak. Sebab, hingga saat ini KPK belum mengumumkan status dan kasus yang menimpa pria asal Bali tersebut.

"Kan kita masih gunakan praduga tak bersalah. Saya kira kita akan lebih tegas, kita punya komisi pengawas (internal)," tandas Syarif.

Sementara Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsudin, mengatakan partainya memastikan masalah hukum yang menjerat anggota Komisi III itu, tidak ada hubungannya dengan partai. Kasus ini murni perbuatan korupsi.

Sementara juru bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul menuturkan, jika terbukti bersalah, Demokrat akan memecat koleganya dari komisi yang membidangi urusan h‎ukum tersebut. Pemecatan ini akan dilakukan setelah KPK resmi mengumumkan penyebab ditangkapnya IPS.

Ruhut Sitompul (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Dia memastikan pengusutan kasus ini tidak akan ada intervensi dari siapapun. Demokrat menyerahkan semuanya kepada KPK yang berwenang dalam hal tersebut.

"Tidak akan ada intervensi. Itu dilarang keras oleh Pak SBY (Ketua Umum Partai Demokrat). Kita dukung KPK, save KPK. Kami tegas, fraksi kami katakan tidak pada korupsi. Kalau nanti diumumkan tersangka, langsung kita hentikan‎," tutur Ruhut.

Namun Wasekjen Partai Demokrat Rachlan Nasidik menyatakan, partainya belum bisa menerima sepenuhnya OTT KPK terhadap IPS. Bukti yang dijabarkan KPK dinilai tidak menjelaskan adanya unsur OTT.

"Kami beri waktu 1-2 hari kepada KPK untuk menjelaskan hal ini," ujar Wasekjen Partai Demokrat Rachlan Nasidik di kawasan Menteng, Jakarta.

Dia mengatakan, KPK belum memberikan satu pun pernyataan adanya bukti kuat secara hukum, yang menunjukkan keterlibatan IPS sehingga adanya OTT. KPK malah menyebut semuanya masih didalami dan akan ditindaklanjuti.

"Ini juga bukan OTT yang lazim seperti kita kenal, di mana ada bukti transaksi uang diberikan yang membuatnya kemudian jadi tersangka, dalam peristiwa ini uang tidak ada," jelas Rachlan.

Menurut dia, adanya bukti transfer yang ditunjukkan KPK juga tidak ditujukan kepada Putu. Bagaimana Putu yang notabene bertugas di Komisi III kemudian bisa mengurus proyek yang harusnya berada di Komisi V pun belum ada kejelasan.

"Harusnya KPK sudah muncul menjelaskan apakah ada hubungannya. Sehingga dalam hal ini KPK sampai hari ini tidak memiliki bukti Komisi III melakukan suap, yang sebetulnya bukan kewenangan dia. Kita tunggu satu dua hari ini," ucap Rachlan.

Kader Tersangkut Kasus

IPS bukan yang pertama. Sederet kader partai berlambang mercy itu sudah lebih dulu tersangkut kasus di KPK.

Mereka, yakni mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dituduh Jaksa KPK menerima pemberian sebagai imbalan mengurus proyek Hambalang dan proyek di Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional, serta proyek lain yang dibiayai APBN. Itu terjadi saat Anas menjadi anggota DPR.

Lalu mantan Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat dan Menpora Andi Mallarangeng. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Andi dengan 4 tahun penjara.

Dia terbukti melakukan korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional, Hambalang.

Hakim menyatakan Andi terbukti memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2 milliar dan US$ 550 ribu dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Semua uang itu diterima Andi melalui adiknya, Andi Zulkarnain Anwar atau Choel Mallarangeng.

Ada pula mantan bendahara umum partai Demokrat M Nazaruddin yang dijerat kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet Palembang. MA menolak kasasinya.

Di persidangan, dia terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar. Nazar juga dinilai memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp. 191 miliar di Kementerian Pemuda dan Olahraga.